05. Ternyata Bukan Mimpi

1.7K 178 21
                                    

Pendingin ruangan menyala, tetapi seseorang yang tengah tertidur tak tenang itu tampak berkeringat banyak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pendingin ruangan menyala, tetapi seseorang yang tengah tertidur tak tenang itu tampak berkeringat banyak. Dengan mata terpejam, kepalanya bergerak gelisah. Belah bibir yang sedikit menciptakan celah itu bergumam tak jelas, seiring rintihan yang keluar. Kening yang tertutup poni lembab pun berkerut dalam. Napas yang terhela, terdengar sangat payah. Selimut penutup separuh badan juga tak tertinggal untuk ia remat kuat.

Seorang remaja lain yang duduk di balik meja belajar, menoleh pelan, lalu mengembuskan napas  kasar. Temannya yang terbaring di atas ranjang itu kentara tak baik-baik saja. Meletakkan ponsel di atas meja dan menghentikan kegiatan menyimak grup sekolah, pemuda tujuh belas tahun bernama Arlan itu pun menghampiri sang sahabat.

Duduk perlahan di tepi ranjang, Arlan menepuk hati-hati paha sahabatnya, yang tak lain adalah Biananta. "Bi," panggilnya.

Seketika Bian membuka pejamnya. Sepasang netra yang memerah itu memindai ruangan dengan ekspresi tegang yang begitu kentara. Napasnya pun kontan berantakan, seiring dengan bola matanya yang bergulir cepat menjelajah setiap sudut kamar.

Pikirannya melayang bersamaan kilasan beberapa kejadian. Dia yang dikejar orang asing, hingga panik dan mengemudi dalam kecepatan tinggi. Jantung yang berulah hingga ia kehilangan konsentrasi, sampai menabrak seseorang hingga mati. Lalu mencoba melarikan diri, tetapi tak ada tujuan pasti. Berakhir menyembunyikan kendaraan di suatu tempat dan ia pulang menggunakan taksi dengan membawa pakaian bernoda darah yang bisa saja ditemukan polisi dan dijadikan barang bukti. Sesampainya di rumah, ia bergegas ke halaman belakang dan membakar pakaian yang bernoda merah terkena cipratan darah tadi.

Astaghfirullah ... mimpinya kayak nyata banget. Sampai kerasa capeknya. Biananta berucap dalam hati.

Tiba-tiba, kalimat panjang seorang pria dewasa, menembus ingatan. Aku tidak mau tahu. Temukan siapa pun itu yang membuat Zay meninggal mengenaskan seperti ini. Menunggu para polisi tidak becus itu hanya menguras emosi. Aku ingin menghukum orang itu dengan tanganku sendiri. Tua atau muda, pria maupun wanita. Aku ingin tak hanya orang itu saja yang menerima hukuman. Akan aku pastikan, keluarganya pun menderita. Seperti apa yang aku rasakan bersama anak-anakku sekarang.

Dan senyum di wajah Raline--sang ibu, seketika terbayang diiringi kilasan cepat dari kejadian-kejadian yang semula menyapa. Hingga suara tabrakan keras yang terekam di kepala, membuat ia tersentak bersamaan dengan Arlan yang memanggil namanya.

"Hei, Biananta!"

Bian bagai ditarik paksa dari alam bawah sadar, untuk kembali ke dunia nyata. Dadanya naik turun tak beraturan, sisa-sisa emosi dari setiap kilasan kejadian yang menyerang.

"Ini gue." Arlan melanjutkan seraya menyentuh lengan Bian, dan memberi guncangan ringan agar temannya itu tersadar sepenuhnya. Beberapa detik yang terlewat, Bian bagai seseorang yang mengalami syok parah.

Spontan, fokus Biananta kini teralihkan pada sosok remaja seumuran dirinya yang duduk di tepi tempat tidur di mana ia berbaring sekarang. Sadar jika memang ia berada di kamarnya sendiri bersama sang sahabat, Bian pun menelan ludah dengan susah payah dan kembali memejamkan mata, setelah mengembuskan sedikit napas lega.

DANCING WITH THE DEATHWhere stories live. Discover now