Eps. 28

938 57 1
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Keputusan apa pun yang diambil saat ini, pasti memiliki konsekuensi di kemudian hari."

—🖤—

HARTAWAN menatap lekat kedua mata sang putri, menelaah apa yang saat ini tengah putrinya rasakan. Sebagai ayah dia tidak bisa terlalu jauh ikut campur ihwal hidup yang akan dipilih oleh putrinya, tapi dia bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pilihan yang diambil oleh Nayya tidaklah keliru.

Saat ini hanya mereka saja yang berada di ruang kerja Nayya. Sisanya dipersilakan untuk menempati kamar masing-masing. Fakta yang baru saja mencuat, membuat mereka semua terkejut. Pasti memerlukan waktu untuk mencerna apa yang telah terjadi.

"Mata kamu nggak bisa bohong kalau tawaran yang diajukan Zalfa sangat menarik untuk kamu coba. Tapi, Papa hanya ingin mengingatkan kamu, pernikahan nggak sesederhana itu. Apalagi posisi kamu yang mungkin akan menjadi istri kedua, harus lebih banyak mengalah dan bersabar," tutur Hartawan berhasil menarik Nayya dari lamunan.

"Papa jangan sok tahu, nggak ada sedikit pun keinginan untuk merealisasikan permintaan Zalfa. Aku masih cukup waras untuk nggak melakukan tindakan bodoh tersebut," sangkal Nayya.

"Cinta itu masih ada dan terlihat sangat jelas. Papa ini ayah kandung kamu, ada harapan di mata kamu saat Zalfa meminta kamu untuk menjadi istri Zayyan. Padahal pada saat kita ngobrol beberapa waktu lalu, kamu udah putus asa. Bukan begitu?"

Nayya memeluk erat Hartawan. Dia tak bisa lagi menyangkal, apa yang dikatakan sang ayah memang benar. Tapi apakah dengan menjadi istri kedua Zayyan, itu merupakan pilihan terbaik? Atau justru hanya akan menambah kepiluan saja.

"Papa nggak bisa mendikte kamu untuk mengikuti apa yang Papa mau. Meskipun mungkin pilihan yang akan kamu tempuh berlainan dengan Papa, tapi sebisa mungkin Papa akan berusaha untuk menerimanya. Berpoligami bukan sesuatu yang diharamkan, terlebih dalam kondisi terhimpit seperti yang Zayyan dan Zalfa alami. Papa bisa merasakan kekhawatiran Zalfa, saat dia tahu nggak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri."

"Papa dan Zayyan sama-sama lelaki, Papa cukup bisa memahami dia. Bagaimana mungkin dirinya tidur seranjang bersama dengan seorang perempuan yang halal untuk dia sentuh, tapi karena keadaan dia harus mengesampingkan itu. Papa nggak akan memungkiri, bahwa sebagian besar otak laki-laki diisi oleh hawa nafsu. Terlebih kondisi mereka sudah menikah."

"Alasan Zalfa pun cukup bisa Papa terima, dia tidak ingin suaminya berzina dengan perempuan yang tidak jelas asal usulnya. Meskipun Papa yakin, lelaki seperti Zayyan nggak akan mungkin melakukan hal tersebut. Tapi siapa yang bisa jamin? Bisa saja Zayyan khilaf, kan? Godaan terbesar laki-laki itu perempuan."

"Zalfa nggak bermaksud untuk memanfaatkan kamu, ataupun menjadikan kamu sebagai pemuas nafsu Zayyan yah. Kamu jangan berpikiran seperti itu. Kenapa Zalfa memilih kamu? Alasannya sangat jelas, karena kamu mencintai suaminya, karena dengan adanya cinta hubungan yang terjalin akan lebih harmonis. Ditambah dengan pemahaman agama Zayyan, dia pasti bisa menakar bagaimana caranya bersikap adil pada kamu ataupun Zalfa. Itu pun kalau kamu memilih untuk menjadi istrinya," tukas Hartawan panjang lebar.

"Papa merestui kalau seandainya aku memilih untuk menjadi istri Zayyan?"

Hartawan mengecup puncak kepala Nayya lembut. "Pilihan apa pun yang hendak kamu ambil, in syaa allah Papa restui dan ridai."

"Tapi cinta aku bertepuk sebelah tangan, sangat mustahil rasanya bisa menjadi bagian dari pemilik hati Zayyan," tutur Nayya cukup pesimis.

"Sekeras-kerasnya batu kalau terus ditetesi air pasti akan terkikis juga. Apalagi hati manusia, perkara mudah bagi Allah untuk membolak-balikkan hati hamba-Nya. Cinta juga bisa tumbuh dengan seiring berjalannya waktu, apalagi kalau sudah menikah. Yakin sama janji Allah, pernikahan itu akan menghadirkan cinta," ungkap Hartawan diakhiri dengan sunggingan lebar.

Tidak ada alasan untuk mengecilkan hati sang putri, di saat keputusan yang hendak Nayya ambil sudah 99% positif menerima tawaran Zalfa. Dia hanya perlu memberikan dukungan dan juga pesan-pesan positif. Nayya yang akan menjalani, dia tidak ingin turut campur terlalu jauh dalam urusan sang putri.

Nayya sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan. Dia bisa membedakan mana yang salah dan benar. Dan lagi, jika memang garis takdir Nayya menjadi istri kedua, Hartawan tidak bisa berbuat apa-apa. Itu mutlak kuasa Allah. Sebagai seorang hamba, dia tidak berhak untuk menentangnya.

"Nayya mau nikah sama Zayyan, Pa," bisiknya seraya mendongak. Ada air mata yang turun di sana, dan bisa dipastikan itu air mata penuh harap.

"Kita bicarakan ini sama Zalfa dan Zayyan yah," putus Hartawan lalu mendaratkan kecupan singkat di dahi sang putri.

Nayya mengangguk singkat.

—🖤—

"Mas nggak segila itu untuk menikahi anak atasan Mas sendiri, Fa!"

"Nayya mencintai Mas, apa salah kalau aku meminta kalian untuk menikah? Bukankah lebih baik seperti itu. Dengan berita yang beredar saat ini, sangat sulit untuk kita kendalikan. Sekalipun kita melakukan klarifikasi dan beragam cara untuk memulihkan kabar yang ada, pasti nggak akan bisa kembali seperti semula."

"Lebih baik kita jalankan sebagaimana berita yang beredar. Toh, aku ikhlas dan rida. Hatiku akan lebih tenang kalau ada istri yang benar-benar berperan sebagai istri untuk memenuhi segala kebutuhan Mas. Nayya mencintai Mas, dia pasti tahu bagaimana caranya membuat Mas nyaman berada di sisi dia. Lagi, pula selama aku koma juga Mas berteman dekat dengan Nayya, kan? Nggak ada salahnya dong kalau sekarang hubungan itu dihalalkan?"

"Mas bener-bener nggak habis pikir sama kamu, Fa. Mana mungkin ada istri yang terang-terangan menyuruh suaminya untuk berpoligami? Mas jadi meragukan perasaan kamu, apa kamu udah nggak cinta lagi sama Mas?" sahut Zayyan sebisa mungkin tidak tersulut emosi.

"Justru karena aku mencintai Mas, aku melakukan ini. Mas berhak untuk bahagia, aku sudah cukup bahagia dengan menjadi bagian dari Mas. Meskipun kita nggak bisa saling memiliki sepenuhnya. Aku selalu mencintai Mas," balas Zalfa begitu tulus.

"Kalau itu yang kamu inginkan Mas akan turuti, tapi jangan salahkan Mas kalau di antara kalian ada yang tersakiti. Seadil-adilnya Mas memperlakukan kalian, pasti akan ada kecemburuan. Jangan sampai kamu menuntut Mas di akhirat karena merasa dibeda-bedakan," tukas Zayyan pada akhirnya menyerah.

Terus menentang dan menyangkal hanya akan membuat masalah kian panjang. Tapi dia berharap, dengan gertakan ini Zalfa akan berpikir ulang untuk tidak lagi memaksa dirinya berpoligami.

Di luar dugaan, Zalfa malah tersenyum lebar dan melingkarkan lengannya di pinggang Zayyan. "Makasih, Mas. In syaa allah, aku bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku putuskan."

Zayyan merengkuh Zalfa dan menumpukan dagunya di kepala sang istri. "Kalau memang itu bisa membuat kamu bahagia dan lega, Mas akan mengikuti permintaan kamu. Sebisa mungkin Mas akan bersikap adil, Mas nggak mau melukai kamu ataupun Mbak Nayya. Pertanggungjawaban di akhirat sangat berat, Mas takut nggak mampu."

"Bismillah, in syaa allah ini adalah keputusan paling tepat," bisik Zalfa yang diaminkan oleh Zayyan.

🖤SEE YOU NEXT CHAPTER🖤

Bandung,
Rabu, 14 Juni 2023

Huft, agak sesek napas ngetiknya 🤧 ... Nggak tahu, nggak bisa berkata-kata, kok ada perempuan kayak Zalfa 😌

Next or No?

Selepas Gulita | END √Where stories live. Discover now