part 18

10.3K 774 6
                                    

🌈Happy Reading🌈

Perlahan matahari mulai kembali ke tempat peristirahatannya memberikan cahaya yang berpadu dengan alam sekitar hingga meninggalkan keindahan menuju malam tiba. Memberitahu seisi alam bahwa setelah malam menjelang esok hari akan kembali bersinar terang.

Sepasang insan masih saja bergelung dialam mimpi hingga salah satu diantara mereka mulai kembali dari alam bawah sadarnya.

Netra bak berlian itu perlahan terbuka dan berusaha menyesuaikan keadaan sekitar dengan matanya.

Ia menatap ruang asing itu dengan pikiran yang berkelana bebas, hingga sebuah gerakan menyadarkannya kembali dengan terkejut.
Ia bangkit dengan segera hingga kepalanya mendadak pusing karena terlalu buru-buru.

"Apa, ada apa, hmm?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Kepalaku pusing." ujarnya seraya menyadarkan tubuh pada pemuda disampingnya. Dengan telaten pemuda itu memijat kepalanya dengan hati-hati.

"Kita dimana?" gadis itu beranjak setelah pusing yang didera kepalanya itu perlahan hilang.

"Di salah satu apartemenku." ujarnya seraya kembali bergelung diatas tempat tidur.

"Didalam lemari terdapat baju-baju untukmu, gunakanlah untuk pertemuan kita dengan gadis itu." pemuda itu masih asik memejamkan matanya dengan posisi tertelungkup.

Lauren segera pergi meninggalkan Ernest yang kembali tertidur.
Kini ia berada di kamar mandi untuk membersihkan diri.

Skip saja.

Kini ia berada di dapur untuk membuat cemilan atau apapun itu untuk mengganjal perutnya yang kelaparan.

Kondisinya benar-benar mudah melemah saat ini, ia juga tak tahu kenapa.
Adakalanya ia cukup risih dan merasa menjadi orang yang tak berguna tapi hanya sesaat. Karena ia bersyukur masih diberi kehidupan kedua walau dengan masalah yang memuakkan.

Ya memang benar memuakkan, jika saja ia tidak bersumpah serapah pada novel ini, Tuhan mungkin akan langsung mengirimku ke neraka.

Jadi mari kita syukuri saja kehidupan ini.
Saat ia sedang asik memotong buah-buahan sepasang tangan melingkar diatas perutnya.
Helaan nafas juga terdengar jelas ditelinganya itu, tebak siapa?

Yap Ernest si kutub yang sangat sulit tersenyum pada orang lain ralat kecuali padaku.

"Apa yang kau lakukan ini, hah?" tanyaku sensi.

"Tidak apa-apa hanya ingin saja." ujarnya dengan acuh tak acuh diiringi dengan mengangkat bahu tak peduli.

"Ingat kita ini bersaudara jadi jangan macam-macam." pemuda itu malah menatapnya dingin.

"Iya memang tapi hanya sepupu, dan kau bisa kunikahi!" sewotnya.

"Memang kau akan menikahiku?" tanyaku dengan mengacungkan pisau.

"Tidak, aku tidak ingin istri kulkas, yang tepos pula." ujarnya meledek.

"Kau menyebalkan. Lihat saja nanti kudoakan kau memiliki istri yang sangat sangat sangat dingin melebihi dirimu dan menyebalkan sepertiku." ujarku berapi-api tak terima dengan hinaannya itu, dia buta atau bagaimana? Tubuh bagus begini dibilang tepos.

Pemuda itu malah kembali mendekatinya, perlahan tapi pasti...ia semakim berjalan mundur saat pemuda itu semakin maju, hingga akhirnya tersudut di meja pantry.

"Mundur! Apa yang kau lakukan!" dingin, suaraku mendingin walau rasanya panas luar biasa. Apalagi dengan kedua tangannya yang kini bertumpu mengukungku.

"Bagaimana kau saja yang jadi istriku?" tanyanya dengan mencondongkan tubuh hingga aku harus bertumpu juga dengan sikuku.

'Oh Tuhan ini posisi yang tidak aman.' batinku berteriak histeris.

'Bahaya, bahaya, bahaya!!!!!'

Lauren mendatarkan pandangannya secara bersamaan dengan ujaran "dalam mimpimu tuan muda!".

"Apa nona ingin mencoba terlebih dahulu sebelum menikah?" seringainya membawa tanda bahaya.

'Sial! Sial! Sial!'

Tubuh mereka semakin berdekatan hingga Lauren terbaring sempurna diatas meja dengan Ernest yang berada diatasnya.

"Menyingkir dari tubuhku!" gadis itu berontak walau kedua tangannya tercengkeram erat oleh satu tangan pemuda itu.

"Kau nakal." setelah mengatakan itu ia pergi begitu saja meninggalkan Lauren yang terbengong-bengong karena pikirannya yang waras mendadak hilang entah kemana.

"Sepupu sialan emang, kerjaannya dari awal ketemu udah kayak gitu." emosinya setelah pikiran itu kembali lagi.

Drrtttt drrttt

Gadis itu segera melihat layar ponsel yang kini terpampang seorang nama asisten di cabang kantornya menelpon.

"Hallo."

"Nona maaf menganggu waktumu dan maaf karena mendadak memberitahumu bahwa akan ada acara di kantor yang mengharuskan anda hadir dan memberikan pidato."

"Kenapa mendadak?"

"Maaf nona maafkan saya."

"Jam berapa?"

"Pukul tujuh malam anda harus sudah berada disini."

"Baiklah."

Tutttttt

Lauren mematikan panggilan itu secara sepihak, malam ini sepertinya ia tidak bertemu dengan Raquella.
Ia akan mengirimkan hadiah saja untuknya sebagai permintaan maaf.

"Memangnya siapa yang akan membiarkanmu pergi?" Ernest kembali muncul dengan raut wajah yang kali ini kelewat datar dan dingin.

Sorot matanya menatap dalam dan tajam pada Lauren, karena entah mengapa sejak tadi ia merasa ada hal yang tidak baik dengan acara itu, terlebih acara ini diadakan secara mendadak.

Laurencia adalah pimpinan mereka jadi tak mungkin bahwa malam ini gadis itu bari saja diberitahu.
Ia harus segera mencari petunjuk akan hal ini.

"Ayolah jangan seperti itu." ujarku memutar bola mata dengan malas.

"Kau tidak curiga?" dalam hati ia ingin sekali mengatakannya namun urung ia ucapkan karena ada hal yang lebih penting dari pada hal ini.

"Sudahlah aku kan hanya menghadiri kantor bukan untuk menyerahkam diri untuk mati begitu saja." Lauren menaruh sepiring nasi goreng dan semangkuk salad buah diatas meja.
Lantas kembali dengan dua gelas air putih dan peralatan makan lainnya.

"Bagaimana dengan gadis itu? Bukankah kau sudah janji akan bertemu dengannya malam ini?" tanya Ernest dingin.

"Aku sudah menghubunginya bahkan hadiah permintaan maaf pun sudah kukirimkan juga." terangku padanya.

Kita berdua makan dalam keheningan yang menegangkan jika untuk orang lain, pikiran kita berdua pergi melanglangbuana entah kemana.

Ada rasa yang sulit untuk dijelaskan, namun sulit juga untuk diabaikan.
Semoga saja tidak ada hal buruk yang menimpa mereka maupun keluarga besar mereka.
Karena itu tidak akan berakhir baik jika musuh yang berbuat.

Namun bila Tuhan yang berkehendak, hanya doa dan harapan yang bisa membantu.

"Ernest jika aku tak ada kau harus menjalankan rencana yang kita buat,oke." pemuda itu malah mendelikkan pandangan saat ujaran itu terlontar dengan mudahnya.

"Apa-apaan itu! Kau akan tetap disini bersamaku dan louis." ujarnya sewot.

"Hahahah..... Yap Louis si rambut mangkok akan segera kemari, ya kau benar juga namun untuk berjaga-jaga kau turuti saja." Ernest pergi begitu saja dengan kedua tangan yang mengepal di sisi kiri dan kanan.

'Tuhan, tolong aku.' batinnya berbisik lirih.

"Ini bukan keinginan ku tapi kita harus bisa bertahan Ernest, kau harus tetap menjalankan rencana ini baik ada maupun aku tiada disamping kalian." ujarnya dengan lirih.

Dadanya bergemuruh karena perasaan tak nyaman dengan pikiran buruk yang selalu saja menghampirinya.
Semoga saja tidak ada apa-apa.

Laurencia.Where stories live. Discover now