02. Luka

627 68 10
                                    

Lintang diam sembari menatap pantulan cermin yang memperlihatkan bertapa kacaunya keadaan dirinya saat ini. Wajah yang awalnya memang sudah dipenuhi lebam, kembali mendapati luka yang sama lagi. Entah kapan lebam dan luka diwajahnya ini akan sembuh.

Lintang menghembuskan nafas lelah, setelahnya ia beranjak untuk segera menjauh dari cermin itu. Ia muak jika harus melihat pantulan dirinya sendiri terus-menerus.

Remaja itu membawa tubuhnya untuk mendekat kearah kasur empuk di sudut ruangan. Ia rebahkan raga lelah itu di atas tumpukkan empuk kasur.

Pintu berbahan dasar kayu itu terbuka, menampilkan sesosok remaja dengan pandangan khawatir menatap Sang Adik. Dengan langkah cepat ia segera berjalan memasuki kamar.

Lintang tetap diam dalam posisinya, Lintang bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang yang sudah duduk tepat di sampingnya. Tepukan lembut dibahunya ia rasakan, Lintang baru menolehkan pandangannya pada orang yang dengan sengaja menepuk bahunya.

"Mikirin apa?"

Lintang menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan yang tadinya Gentala ucapkan, "Abang kenapa pulang? Abang bolos?" tanya Lintang setelahnya.

"Dek, kenapa berantem?" Gentala sama sekali tidak menjawab pertanyaan yang tadinya Lintang berikan untuknya, remaja itu mala balik bertanya pada Sang Adik.

Hembusan nafas pelan terdengar sebelum Lintang menjawab pertanyaan itu. "Dia yang mulai, bang," kata Lintang sembari menatap kearah Gentala, berusaha membela diri.

"Bukan tentang siapa yang memulai, Lintang. Tapi, tentang kenapa kamu berantem." ucap Gentala karena ia merasa jawaban tadi tidak menjawab pertanyaannya.

Lintang memilih untuk mengalah, percuma saja jika dirinya terus-menerus menghindari pertanyaan itu. Pada akhirnya, Lintang memang tidak akan pernah bisa menyembunyikan kebenaran apapun pada Gentala.

Lintang mulai menceritakan semuanya pada Gentala. Tidak ada satupun yang dirinya tambah atau kurangi dalam ceritanya. Lintang benar-benar menceritakannya secara jujur pada Gentala.

"Anak mana yang ngga marah kalo orang tuanya dihina, bang?" ujar Lintang sembari menatap kearah sang abang dengan pandangan mata berkaca-kaca.

Gentala menatap sang adik dengan perasaan campur aduk. Lintang begitu sangat menyayangi bunda dan peduli padanya. Padahal, bunda tidak pernah sekalipun menaruh rasa sayangnya pada Lintang. Gentala sangat tau bagaimana sikap bunda selama ini pada Lintang.

Perihal bunda membenci Lintang pun, Gentala sudah mengetahuinya. Demi apapun, hati Gentala benar-benar terasa begitu sakit saat melihat pandangan mata yang ditunjukkan Lintang untuknya. Dalam detik berikutnya, Gentala segera membawa sang adik kedalam dekapan hangat miliknya.

Nangis aja, jangan ditahan," ujar Gentala sembari mengusap pungung rapuh si bungsu.

Mendengar itu, Lintang terisak pelan dengan air matanya yang kian meluncur semakin deras.

Cukup lama Lintang diam dalam posisi memeluk sang abang, setelahnya ia lepaskan pelukkan itu perlahan. Gentala memandangi wajah adiknya yang sudah memerah dengan kedua mata yang membengkak.

Tangan milik Gentala terangkat untuk mengusap sisa air mata Lintang. Udahan nangisnya? tanyanya dengan kekehan kecil.

Hanya anggukan singkat yang Lintang berikan untuk menjawab pertanyaan itu.

HAPPINESS [END]Where stories live. Discover now