09. Sebuah Permintaan

350 55 8
                                    


Mata yang biasanya selalu memancarkan sorot ketenangan serta kedamaian, mendadak berubah menjadi kosong

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Mata yang biasanya selalu memancarkan sorot ketenangan serta kedamaian, mendadak berubah menjadi kosong. Hanya ada pancaran kesedihan dan kekosongan di dalam tatapannya itu. Lintang, pemuda itu sudah sadar dari masa kritisnya beberapa menit lalu. Kini, dirinya hanya tengah sibuk melakukan aktivitas melamunnya.

Ditengah bisingnya perdebatan kecil antara Ayahnya dan juga Gentala, Lintang tetap diam sembari menatap lurus kedepan. Dirinya sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya, dan terus hanyut dalam pikiran kosongnya.

“Lintang, kamu udah bisa denger semuanya lagi, kan?”

Fahendra menghentikan aktivitas debatnya bersama Gentala, dan mulai mendekat kearah sibungsung sembari melontarkan pertanyaan.

Fahendra mengusap bahu Lintang pelan, berniat menyadarkan Lintang dari lamunan panjangnya. Lintang menolehkan pandangannya kearah Fahendra kala merasakan usapan pada bahunya. “Hah? Ayah?” Lintang berucap dengan tatapan bingung menatap sang Ayah.

Fahendra menghembuskan nafasnya karna merasa lega. Tadinya, dirinya benar-benar khawatir karna mengetahui Lintang kehilangan alat bantu dengarnya. Dirinya Khawatir anaknya itu akan merasa sedih ketika bangun, dengan segera Fahendra kembali membelikan alat itu untuk sibungsu. Fahendra menyesal, karna terlambat mengetahui kabar ini. Dirinya merasa menjadi ayah yang buruk, karna sudah gagal menjaga putra bungsunya.

“Kamu mikirin apa?” Fahendra kembali berucap, kali ini nadanya terdengar begitu khawatir.

Lintang memberikan senyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya untuk memberi tau bahwa dirinya tidak memikirkan hal apapun. Walau nyatanya, dirinya tengah berbohong pada sang ayah.

“Beneran?” Suara itu datang dari Gentala yang berjalan mendekat kearah brankarnya sembari melemparkan tatapan penuh selidik kepada Lintang.

Lintang terkekeh pelan ketika melihat wajah Gentala yang menurutnya lucu. Setelahnya, dirinya menggangukkan kepalanya untuk mengatakan bahwa dirinya mengatakan hal yang sebenarnya.

“Ada yang sakit?” Gentala menanyakan hal lain sembari memperhatikan lebam-lebam yang bersarang diwajah Lintang.

“Ngga ada.” Jawab Lintang singkat. Dirinya benar-benar lelah mendapati banyaknya pertanyaan sedari tadi. Lintang sudah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja sedari tadi, tapi Gentala tidak pernah bosannya untuk menanyakan keadaannya setiap menitnya. Lintang jadi lelah sendiri dibuatnya.

Pintu ruangan rawat itu terbuka, yang langsung membuat semua orang yang berada didalamnya menolehkan pandangan mereka kearah pintu masuk yang menampilkan Mentari dan juga Renjana yang sudah bersiap untuk masuk kedalam ruang rawat.

“Abang kondisinya gimana? Udah ngerasa enakan?” Renjana dengan langkah cepat segera mendekati brankar Lintang dan langsung menanyakan beberapa pertanyaan.

HAPPINESS [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora