21 Juni 2023

2 0 0
                                    

Kini manusia memiliki peralatan serba canggih. Kata nenek, dulu boro - boro ada TV jernih berwarna, yang ada TV kecil hitam putih, itu pun hanya beberapa orang yang punya. Jaman dulu, orang-orang lebih suka mendengarkan radio, membaca koran, atau pun melakukan aktivitas lainnya.

Oiya, kenalkan aku Akbar. Saat ini aku kelas 7, aku tinggal dengan ibu, nenek, dan tante Evi. Hidup kami sederhana, meski begitu kami berkecukupan. Uang pensiun kakek dan gaji Ibu yang menyokong hidup kami. Tante Evi masih kuliah, jadi belum bekerja. Kadang kala tante Evi membantu, kadang dia bekerja, tapi tidak full.

Seperti yang ku katakan tadi, kami hidup sederhana. Sedari kecil Ibu melatih ku untuk hidup sederhana. Ketika SD yang sangu ku tidak pernah menyentuh angka 5000, paling banyak 4000. Aku juga dilatih menabung, dilatih membeli apa yang ku inginkan sendiri.

Terkadang aku ingin seperti teman-teman lainnya yang bisa bebas jajan di sekolah tanpa berpikir harus menyisihkan uang untuk menabung. Suatu ketika ada penjual roti bakar, semua temanku beli, tapi aku tidak. Saat itu sangu ku masih 3000. Hari itu, 1000 sudah ku gunakan untuk kas, lalu 1500 ku tabung, sisa 500, tidak cukup untuk beli roti bakar seharga 1000 rupiah. Walau aku sangu 3000 aku membawa bekal dan minum, jadi hemat. Aku ingat betul, saat itu aku ingin sekali roti bakar, tapi tidak bisa membelinya. Akhirnya setelah makan bekal, aku kembali ke kelas mengerjakan latihan soal matematika untuk persiapan Try Out.

Ibu selalu berkata, "Lebih baik hidup sederhana, berkecukupan, damai. Daripada hidup mewah tetapi hutangnya banyak." Aku berpikir, benar juga yang dikatakan Ibu. Tapi sangat disayangkan, beberapa bulan setelah masuk SMP kesabaran hidup sederhana ku runtuh, aku memberontak.

Aku ingin memiliki handphone seperti teman-teman SMP ku. Saat itu mereka berkomunikasi lewat aplikasi WhatsApp, sedangkan aku masih menggunakan SMS, itu pun menggunakan Handphone tombol Ibu. Aku menangis diam-diam beberapa hari, sampai akhirnya ketahuan Ibu. Ibu sempat menolak membelikan ku handphone. Dia menilai itu akan mengganggu belajar ku, aku menyangkal. Aku menjelaskan jaman sudah berbeda, aku perlu berkomunikasi dengan teman dan guru lewat WhatsApp, mereka hampir tidak menggunakan SMS. Akhirnya Ibu menuruti keinginan ku. Keesokan harinya aku di antar tante Evi ke konter untuk membeli handphone, seharga 850.000 rupiah, dibeli dengan uang tabunganku, tante Evi membelikan kartu SIM dan kuota.

Beberapa bulan aku menggunakan Handphone, aku juga mengenal media sosial, salah satunya Facebook. Aku membuat akun, saat itu Facebook aplikasi populer, aku bisa berteman dan mem-posting foto.

Malam itu ada notifikasi dari Facebook,

Alexander Fisher mengomentari postingan Anda

Ku buka notifikasi tersebut. Orang itu mengomentari foto ku dan ibu ketika aku kecil.

Alexander Fisher
Ini benar Amir Akbar, anaknya Bu Ratna Herawati?

Aku menjawab singkat, iya

Tidak ada satu menit, orang itu menghubungi ku lewat messenger. Dia mengaku kalau dia ayahku. Aku tidak langsung percaya, tapi jujur hatiku mengharu. Aku berlari keluar kamar menuju teras tempat ibu biasa bergelut dengan buku tebalnya.

Aku memberi tahu ibu bahwa ada orang yang mengaku sebagai ayah ku. Saat ku bacakan namanya, ekspresi ibuku berubah.

"Itu benar bu?"

Ibu diam, Ibu tidak pernah menceritakannya, dia selalu mengalihkan topik. Aku selalu berpikir apa yang membuat ibu bersikap begitu. Aku kesal karena nenek dan tante Evi tidak mau buka mulut juga. Hari ini aku menemukan harapan, karena aku tidak pernah mengetahui hal perihal ayah ku. Akhirnya aku ada jalan, walau kebenarannya belum pasti. Seumur hidupku, aku tidak tau kalau aku mempunyai ayah.

Tema : Akhiri cerita kalian dengan kalimat "Seumur hidupku, aku tidak tau kalau aku mempunyai ayah."

|30DWCNPC2023| Wind After The AshWhere stories live. Discover now