5.

3K 28 0
                                    

Enbi berjalan lemas menuju kubikelnya. Nadira yang melihatnya langsung menegurnya. "Kenapa lo? Lemes banget?" tanyanya.

Tanpa menjawab, Enbi memilih duduk dikubikelnya lalu menelungkupkan wajahnya diatas meja. "Mampus gue," gumamnya.

Nadira langsung mendekat kala melihat teman sebelah kubikelnya yang sedang merana itu. "Eh, lo kenapa Bi?" tanya Nadira pelan.

Sejak Enbi dipanggil Rafdi pagi-pagi sekali memanh feeling Nadira juga tidak enak. Lihatlah sekarang, Enbi malah meremas rambutnya mirip orang gila lagi kumat.

Plakk

Nadira menggeplak lengan Enbi untuk menyadarkan Enbi. Enbi langsung mengaduh kesakitan dan mengelus lengannya, lalu menatap kesal kearah Nadira. Meskipun baru kenal beberapa hari, namun entah kenapa Enbi sudah merasa nyaman dengan Nadira. Meskipun dia sudah menikah dan punya anak tapi pembawaan Nadira sangat santai dan ramah.

"Sakit mbak," protesnya lalu mengangkat wajahnya.

"Rapihin rambut lo tuh! Kayak gembel tau enggak!" ejek Nadira, Enbi langsung merapikan rambutnya dengan jari tangannya.

Setelah selesai, Nadira menarik kursinya mendekat ke arah Enbi. "Lo diapain sama Rafdi?" tanya Nadira.

Enbi menatap Nadira dengan air muka melas sekali. Seperti anak kecil habis dibabat sama emaknya. "Gue disuruh selesaiin tiga draft hari ini Mbak!"

"Astagfirullah serius lo Bi?"

"Kali ini satu miliarius Mbak," kini Enbi memijit pelipisnya yang pening itu.

"Rafdi kalau marah emang gila gitu sih. Gue juga pernah digituin," sahut Nadira.

"Terus gimana Mbak? Bisa selesai dalam sehari juga nggak Mbak? Bagi tips dong," cerocos Enbi.

Namun sebelum menjawab, Nadira ingin memastikan sesuatu pada Enbi. "Sekaranh gue mau tanya dulu. Penyebab Rafdi marah sama lo apaan?" tanya Nadira.

"Kemarin itu gue ketemu penulis ikan hiu makan tomat Mbak. Katanya dia minta ganti editor, dia maunya editor senior bukan anak bau kencur macam gue," jelas Enbi, kedua mata Nadira mendelik.

"Serius lo dapat dia?" tanya Nadira memastikan.

"Iya Mbak."

"Kok bisa?" ucap Nadira tak percaya, Enbi yang mendengarnya mengernyitkan dahi.

"Maksudnya kok bisa gimana Mbak?" tanya Enbi.

Nadira mendekat ke arah Enbi biar tidak kedengaran tetangga lainnya. Soalnya biasanya tetangganya itu suka cepu. "Satu perusahaan udah tahu, kalau Ikan hiu makan tomat emang maunya sama senior macam Kelvin dan Josea. Biasanya dua orang itu yang sering handle naskah itu author. Kok Rafdi jadi aneh gitu malah nyodorin lo," jelas Nadira.

Nah kan.

Sejak kemarin pulang dari sbuck. Perasaan Enbi juga merasa aneh dengan jawaban Elmo. Terjawab sudah rasa penasarannya kalau si mantan kampretnya itu memang mau cari gara-gara sama dia.

"Si Rafdi ngerjain gue berarti Mbak," geram Enbi.

"Kok bisa gitu sih, lo ada masalah waktu awal masuk?" tanya Nadira.

Enbi menggeleng, tidak mungkin juga dia cerita kalau dia mantan pacar si anak iblis itu.

"Nggak ada Mbak serius," jawabnya melas sekali memikirksn nasibnya. Baru beberapa hari bekerja tapi Rafdi sudah menyebalkan seperti itu.

"Gue ada saran sih. Tapi ini terlalu ekstrim," ucap Nadira.

"Apa Mbak?"

"Kemarin Lupi si anak baru sebulan lalu juga kena marah sama Rafdi karena ga sesuai deadline. Akhirnya dalam sehar dia disuruh selesaiin empat draft.."

"Terus terus Mbak?"

"Ah bentar! Gue belum selesai ngomong! Dengerin dulu!"

"Dia minta tolong sama Ciani buat ngebujuk Rafdi buat ulurin waktunya sampai dua hari. Dan akhirnya berhasil."

"Jadi, gue harus minta tolong sama Ciani Mbak?" tanya enbi tak percaya.

"Yoi, itupun kalau lo mau tenang. Kalau lo bisa selesaiin dalam sehari jug-"

"Nggak sanggup gue Mbak, bisa keluar ini dua bola mata."

"Ya sudah lo temuin Ciani aja, soalnya Ciani kan pacarnya Rafdi jadi si Rafdi pasti luluh tuh," jelas Nadira.

Enbi mengangguk saja padahal dalam hatinya dia malas sekali. Kenapa juga dia harus mengemis pada Rafdi. Hidup sialan memanh, sudah jadi anak panti, miskin, cantik enggak, pinter juga enggak, tapi kesialan datang bertubi-tubi. Salah nggak sih kalau mau ngumpat?

"Gue sebenernya takut sama Ciani Mbak," ujar Enbi.

"Ya gimana Bi. Cuma dia yang bisa bantu saat ini."

"Sebelum Ciani pacaran sama Rafdi siapa yang bisa bujuk Rafdi Mbak?" tanya Enbi, siapa tahu ada opsi lain.

"Dulu sama Victor sih, cuma Victor udah pindah ke divisi komik," tubuh Enbi langsung merosot. Hanya Ciani harapan satu-satunya saat ini.

●●●

"Kok bisa sih Rafdi begitu?" tanya Ciani.

Sekarang, Enbi sudah berdiri didepan kubikel Ciani. Ada satu hal yang Enbi tahu dari Ciani, kalau membahas soal Rafdi, tiba-tiba perempuan itu jadi lemah gemulai eh salah, lemah lembut maksutnya.

"Iya M-mbak, tolong bantu saya Mbak," mohon Enbi dengan wajah yang sudah memelas, bahkan kedua matanya sudah berkaca-kaca menampakkan air mata buaya. Ada satu kelebihan Enbi, dia jago akting nangis.

Krierr

Ciani berdiri dari kursinya. "Ya sudah, gue bantuin," Enbi langsung mengucapkan terimakasih kepada Ciani.

"Terimakasih Mbak Ciani," ucapnya dengan air mata yang sudah berderai hasil pakai obat mata tadi. Obat mata yang sering dia bawa saat matanya perih karena terkena debu.

"Ya sama-sama," ucap Ciani lalu berjalan keluar dari kubikelnya.

"Ayo!" ucap Ciani, Enbi mengernyitkan dahinya.

"Maaf mbak maksutnya?" tanya Enbi.

Ciani menghela napas panjang. "Ya lo ikut gue lah!" ucap Ciani dengan nada kesal.

Enbi sebenarnya malas namun akhirnya terpaksa. Dia kira dia nggak diajak tapi sekarang malah Ciani membawanya ke ruangan Rafdi. Nasib, nasib.

Cklek

"Maaf ganggu waktu kamu," ucap Ciani. Enbi masih mengekor dibelakang Ciani sambil menunduk.

"Iya nggak apa-apa. Ada apa?" lembut sekali seperti tepung ya ucapan Rafdi pada Ciani. Beda sekali saat bersama Enbi yang mulutnya jadi lemes kayak tetangga kos Enbi.

"Ini loh Enbi, Raf," ucap Ciani.

Mendengar nama Enbi disebut, Rafdi langsung menoleh ke arah Ciani. Mencari jejak Enbi yang ternyata berdiri dibelakng Ciani dengan menunduk.

"Kenapa dia?" tanyanya ketus, Ciani saja sampai kaget. Tak biasanya Rafdi bicara ketus pada bawahanya.

"Kamu yakin bebanin tugas sebanyak itu buat dia?" tanya Ciani.

Rafdi menghentikan ketikannya lalu berlarih menatap Ciani. "Suruh Enbi hadap aku,"

Cihh aku kamu

Ciani menggeser tubuhnya kesamping hingga sekarang Enbi sudah terlihat dengan kedua mata Rafdi.

"Enbi angkst kepalamu," perintah Ciani.

Apeslah kalau Rafdi liat gue kayak gini dia pasti bakal kerjain gue terus. Batinnya, karena Enbi ingat betul bagaimana lelaki itu dulu membuat hidupnya tak tenang dengan sindiran-sindiran yang lelaki itu buat.

"Punya telinga kan lo!" ketus Rafdi.

Dengan kesal, Enbi mengangkat kepalanya dan tertampanglah wajah kusut Enbi sekarang. Maskaranya luntur dan juga make upnya.

"L-lo n-nangis?"

Enbi Solo (21+)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora