8

214 12 0
                                    

Mendengar ucapan Layla Ayana memikirikannya. Ayana sungguh mau masuk ke dunia Kevin lebih dalam. Dia mau tahu bagaimana kehidupannya, dan dia ingin terlibat ke dalam banyak hal soal dirinya.

Tapi di satu sisi, Ayana juga tahu. Ketakutannya akan kehilangan Kevin memang sungguh nyata. Ayana tidak bisa mengambil kesempatan memuaskan rasa penasarannya dan pada akhirnya Kevin menjauh darinya.

Seperti ini sudah bagus. Menunggu Kevin datang menemuinya. Tidak banyak mempertanyakan soal dirinya, sudah lebih dari cukup. Kevin hanya perlu datang dan Ayana menyambut dengan bahagia. Ayana tidak membutuhkan yang lainnya.

Ayana menjatuhkan kepala ke meja. Memikirkan kembali bagaimana pertemuan pertama mereka.

Satu tahun yang lalu, saat Ayana keluar dari sekolahnya dengan kondisi di luar hujan, ponselnya berdering.

Mengecek ponsel, Ayana menemukan ibunya yang memanggil. Buru-buru dia menjawab.

"Ibu? Aku kehujanan, di sekolah—"

"Ibu tidak bisa menemanimu besok, Ayana. Ibu harus melakukan perjalana bisnis dan sekarang sudah ada di bandara. Ibu meletakkan uang di tempat biasa. Kau ambil saja dan bawa temanmu pergi merayakan. Ya?"

"Tapi, Ibu, aku kehujanan sekarang. Tidak ada kendaraan lagi. Dan juga aku sendirian di sekolah."

"Jangan manja, Ayana. Ibu tahu, ibu bisa mengandalkanmu. Ibu harus terbang, sampai junpa dua hari lagi."

Dan sambungan dimatikan begitu saja. Seperti biasa, ibunya tidak peduli. Bahkan mungkin kalau Ayana bertemu penjahat dan mati, ibunya hanya akan mengatakan kalau Ayana yang salah. Seperti biasa, ibunya menuntutnya menjadi dewasa saat dia sendiri baru saja berumur tujuh belas tahun. Ayana masih membutuhkan sosok ibu di sisinya, masih sangat butuh.

Tapi ibunya lebih mementingkan uang dari pada apa pun. Dan lagi, Ayana tidak memiliki ayah untuk mengadukan semuanya. Dia sendirian, dia menjadi seperti sebatang kara.

Dengan penuh kesedihan, Ayana menerobos hujan. Dia berjalan dengan airmata deras melewati gerbang sekolahnya. Begitu dia sampai di luar, dia malah duduk jongkok dan memeluk lututnya sendiri. Dia menyembunyikan wajahnya di antara pahanya. Dan dia menangis lebh keras. Hujan akan menutupi semuanya.

Saat Ayana tenggelam dalam kesedihannya, hujan tidak lagi membasahinya. Dia mendongak dan menemukan warna hitan menutup seluruh langit. Ayana menatap ke depan, ada pria yang berdiri di depannya dengan penampilan rapi. Bahkan rambutnya juga tampak tidak rusak oleh hujan yang menetes ke kepalanya. Dia memberikan semua perlindungan air untuk Ayana. Seluruh payung itu hanya menaungi Ayana.

Dengan cepat Ayana berdiri. Dia menatap pria itu tidak yakin. Ayana tidak mengenalnya.

Ayana mundur satu langkah, dan pria itu malah maju dua langkah. Mereka kini berdiri di bawah payung yang sama.

"Anda tidak perlu—"

"Lebih lama kehujanan, kau akan jatuh sakit. Kau mau sakit?"

"Tidak masalah. Tidak akan ada yang peduli dengan sakitku. Jadi tidak apa-apa sakit."

"Kecewa dengan orang lain dan menyakiti dirimu sendiri?"

Ayana menunduk dalam. Dia ingin menangis lagi, tapi terlalu malu untuk melakukannya, dia menahannya.

"Ayo, aku akan mengantarmu pulang?"

"Apa?"

"Mengantarmu."

"Kenapa?"

"Aku tidak mau di jalan kepikiran apakah kau pulang dengan selamat atau tidak. Biarkan aku mengantarmu. Bagaimana?"

Ayana sangsi. "Apakah kau pria jahat? Apa kau hendak menjualku atau mengambil organ tubuhku?"

Pria di depan Ayana tampak terpana dengan bagaimana tuduhan Ayana padanya. Sungguh ajaib gadis itu sanggup membuatnya takjub sekaligus dongkol dalam detik yang sama.

"Aku tidak mau mengambil resiko," Ayana membela diri. Tidak mau dituduh tidak tahu terima kasih.

Pria itu menyerahkan kartu namanya pada Ayana.

"Kevin?"

"Ya, Kevin Black. Kau bisa cari di internet. Wajahku ada di sana. Internet tidak akan berbohong padamu untuk identitas seseorang. Apalagi aku."

Ayana mengangguk kemudian. Dia percaya.

Selingkuhan Suami Orang Where stories live. Discover now