chapter 8: "Retak"

41 5 7
                                    

   Setelah hari itu, Nicholas tak pernah mengunjungi diriku. Sudah hampir 1 bulan tanpa kabar darinya.

"Haaa....." aku menghela nafas kasar sambil melihat ke luar jendela.

Cuacanya cerah, tidak sama dengan hatiku yang mendung hampir sebulan ini.

"Aku merindukan Nicholas...." gumamku sambil meremas kuat pensil di tanganku.

Aku kembali dengan menggambar sketsa wajah Nicholas yang sudah menjadi kegiatan rutinku.

Aku terus berdoa tiap malam agar setidaknya aku bisa bertemu dengannya lagi sekali.

"Apa yang sedang dia lakukan ya...." tanyaku pada diri sendiri sambil menggambar sketsa Nicholas.

Buku sketsa ini adalah pemberian Nicholas. Dan sekarang buku sketsa ini dipenuhi orang yang memberikannya.

Hidupku terasa kosong karena ketidakhadiran dirinya. "Bahkan jika ingin mengirimkan surat pun, aku tak tau dimana rumahnya"

"Kau bilang kau tak akan pergi untuk waktu yang lama...." gumamku sendu

Sunyi.

Rumah yang tak besar dan tak kecil ini, merindukan pria yang selalu datang memberikan perasaan hangat sama seperti pemiliknya yang merindukan pria itu.

"Ah, bukuku habis" ujarku saat melihat bahwa buku sketsaku telah sampai di halaman terakhir. 

Aku mengusap ngusap gambar Nicholas di buku sketsa itu, berharap dia akan segera pulang.
.
.
.
.
.
.
.
   Keesokan harinya, aku mulai memulai mengerjakan sebuah lukisan. Sebenarnya aku ingin menggambar Nicholas lagi tetapi buku sketsaku telah habis.

Aku mulai melukis dengan seksama yang ada di dalam benakku.

Saat aku sedang melukis, aku mendengar pintu depan yang dibuka. Aku berpikir bahwa mungkin itu hanyalah seorang pelanggan yang ingin membuat sebuah lukisan.

"Selamat datang, apa yang anda butuhkan?" ucapku. Aku mulai berbalik untuk melihat pelangganku.

'Deg!'

Disitu, berdiri seorang pria. Rambut coklat seperti batang pohon, mata birunya yang sayu seperti laut yang tenang serta kulit putihnya yang sedikit kecoklatan karena terbakar matahari, serta badannya yang kekar dibalut seragam tentara.

"Larie..." dia memanggilku lembut. Ditangannya terdapat sebuket bunga mawar yang seharusnya harum tetapi sangat menyesakkan bagiku.

Aku hanya diam menatapnya. Dia dibalut seragam tentara berwarna hitam dengan beberapa pangkat yang ku kenal sebagai kolonel.

Itu bukanlah seragam tentara Prancis seperti milik ayahnya atau kakaknya melainkan seragam tentara Jerman

'Dia seorang tentara jerman.....Nicholas adalah prajurit Jerman' batinku ingin menangis.

Dia mencoba mendekat ke arahku tetapi aku mundur selangkah.

"Jangan mendekat" ucapku dengan susah payah. Rasanya seperti leherku tercekik oleh setiap kata yang ku keluarkan.

"Larie saya-" ucapannya terpotong

"Ku mohon" ucapku tidak lagi formal.

Dia terdiam sejenak. "Kau.....seorang tentara Jerman..." ucapku dengan susah payah

Dia menatapku dan mulai mendekat tetapi aku kembali mundur. "Larie, ku mohon jangan menjauh" ucapnya.

Aku menggeleng "Kau pembohong" ucapku parau. Dia terdiam tapi langkahnya kembali pasti.

A CANVASWhere stories live. Discover now