chapter 9: "mencoba"

33 5 5
                                    

  Setelah seminggu, Nicholas tak pernah datang lagi. Aku tak melihatnya sama sekali.

Pada minggu pertama, aku memilih tak peduli. Tetapi tak berselang lama, beberapa minggu mulai menjadi beberapa bulan.

"Seharusnya ku biarkan dia masuk hari itu..." ucapku menatap pintu. 

Aku adalah orang yang menolaknya tetapi entah mengapa hatiku terasa sesak karena itu.

Sudah 3 bulan terlewat tanpa kabar apapun tentangnya. Dan setiap harinya aku selalu mengecek apakah dia sedang berdiri di sana tetapi yang ku dapati hanyalah jalanan sejauh mata memandang.

Hari ini, aku terbangun lagi, setelah memimpikan pria itu. 

Hari dimana dia yang datang dengan sebuket bunga yang sekarang ku biarkan layu dan mengering, juga tatapannya yang lembut tapi berhasil meruntuhkan harapanku. 

Hari dimana dia memelukku dengan hangat tetapi terasa menyiksa, setiap kata manis yang ku balas dengan perkataan pahit, semuanya terbayang bayang hingga membuat perutku mual. 

Setiap kali memimpikan hal tersebut, aku memilih untuk tidak tidur melainkan merenung apakah mendorong Nicholas menjauh adalah pilihan yang tepat?

Aku sedang melukis tetapi pikiranku tak fokus dan itu membuat diriku frustasi.

Saat sedang melukis, aku mendengar suara pintu yang terbuka.

Aku menoleh dan berharap yang muncul adalah pria berambut coklat.

Namun, yang berdiri disana adalah seorang wanita cantik berambut hitam legam dengan mata yang berwarna abu abu karena katarak, juga seorang anak laki laki berusia 4 tahun dengan rambut hitam dan manik hijau cerah.

"Halo Larie" ucap wanita itu tersenyum

"Bibi!" Ucap anak laki laki itu bersemangat.

"Kakak ipar" ucapku tersenyum "dan keponakanku yang imut, Cyrille" lanjutku sambil menggendong anak itu dan memberinya banyak kecupan.

"Bagaimana kabarmu Larie?" Tanya wanita itu.

" aku baik baik saja kak" ucap ku berdusta. "Bagaimana keadaan kakak dan Cyrille?" Tanyaku.

"Kami juga baik.....Ryle sedang belajar membaca sekarang" ucap wanita itu sambil duduk.

Aku mengangguk angguk. "Sampai berapa lama kak Lisette akan disini?" Tanyaku.

"Tak lama" ucapnya. "Hanya 2 sampai 3 hari" lanjutnya.

"Ryle merindukan bibinya" ucap kakak iparku terkekeh. 

"Kau merindukanku hm?" Ucapku pada anak di gendonganku ini dan dia pun mengangguk membuat kami tertawa.

Aku terlalu sibuk dengan keponakanku sehingga tak menyadari Kak Lisette mulai mengambil buku sketsaku yang penuh dengan Nicholas.

Walau katarak, dia masih bisa mengenal gambar terutama potrait.

"Larie, siapa orang ini?" Tanya iparku itu membuatku gugup. 

"Ah....itu hanya gambar kak Adhellard" bohongku.

"Kau berbohong, Larie" ucapnya. "Walau aku katarak, aktu tahu kalau suamiku tidak terlihat seperti ini" ucapnya.

"Wajahnya entah mengapa terasa dingin dan rambutnya berbeda dari milik suamiku.....siapa dia?" Tanya iparku lagi.

Aku hanya terdiam tak tau harus jawab apa.

Dia tersenyum. "Hm? Apa ini? Apa adik iparku ini sedang jatuh cinta?" Dia mulai menggodaku.

"Tidak juga...." ucapku muram. Iparku menyadari perubahan suaraku.

"Larie, kemarilah" ucapnya memintaku duduk di sampingnya.

Saat aku duduk disampingnya, dia meraih tanganku dengan lembut dan menatapku lekat.

"Ada apa?" Tanyanya lembut. Aku menatapnya dan mulai berbicara.

"Sebenarnya beberapa bulan yang lalu, aku bertemu dengan seorang pria" ucapku. 

"Dia adalah pria yang baik dan lembut.....dia juga sangat menawan" lanjutku.

Kakak iparku mendengarkannya dengan seksama sedangkan Ryle sedang asik bermain.

"Dia sering memberikan kata kata manis dan juga setiap perlakuannya membuatku nyaman" aku mulai kesusahan berbicara.

"Tetapi....aku mengetahui bahwa dia adalah seorang tentara...." ucapku. "Dia seorang tentara Jerman..." ucapku membuat kakak iparku terkejut

'Dia pasti akan marah' batinku takut

"Jadi seperti itu...." ucapnya lembut.
"Lalu bagaimana?" Tanyanya lagi.

"Aku bingung..." ucapku. "Aku bingung harus menghadapinya.....aku membenci tentara jerman.......tetapi aku mencintainya" ucapku dengan senyum getir.

"Larie" panggil iparku. "Kau mencintainya bukan?" Tanyanya membuatku mengangguk.

"Maka profesinya bukan masalah.....karena kau jatuh cinta pada orangnya bukan pada profesinya" lanjutnya.

"Tapi-" aku baru ingin menjawab tapi aku kehabisan kata kata.

"Sejujurnya, aku juga tak begitu menyukai tentara" ucap iparku membuatku sedikit kaget.

"Para tentara pasti akan mempermainkan wanita katarak sepertiku" lanjutnya.

"Tapi kakakmu berbeda....dia mencintaiku apa adanya walau pada awalnya aku membenci karena dia tentara, pada akhirnya aku mulai menerimanya hingga kami menikah" ujarnya lagi.

"Tapi aku menolaknya..." ucapku mulai menangis.

"Apakah dia menolakmu?" Tanyanya.

"Entahlah..." jawabku.

"Maka cobalah." Ucapnya. "Karena jika kau memilih untuk terus mendorongnya menjauh mungkin kau tak akan menemuinya lagi" ucapnya.

"Aku takut....kalau aku tak bisa menerimanya yang merupakan tentara Jerman" ucapku putus asa.

"Yang kau takutkan bukanlah dia seorang tentara." Ucapnya. "Kau hanya takut kehilangannya di medan perang" lanjutnya.

"Aku mengetahui karena aku sempat merasakan hal yang sama saat suamiku, kakakmu meninggal karena perang" ucapnya.

"Tapi jika kau tak mencoba, maka kau akan lebih menderita dan menyesal seumur hidupmu" ucapnya lembut.

Aku mulai menangis. "Tapi, apa yang harus ku lakukan?" Tanyaku.

"Hubungan yang baik bukan hanya saling mencintai" ucapnya. "Tetapi juga adanya komunikasi antara kedua belah pihak" lanjutnya.

"Komunikasi?" Ulang Ku dan dia mengangguk

"Cobalah berbicara dengannya nanti" ucap iparku tersenyum. "Jujurlah dari hatimu yang paling dalam, katakan semua yang ada dalam benakmu" ucapnya.

"Dan bagaimana jika dia tidak mendengarkanku" tanyaku ragu

"Dia akan mendengarkanmu jika dia benar benar mencintaimu" ucapnya. 

Aku terdiam sejenak. Aku memikirkan apa aku harus melakukannya.

Kakak iparku mengelus punggung tanganku. "Larie, walau aku hanya iparmu, aku mengkhawatirkanmu sama seperti kakakmu." Ucapnya. "Walau suamiku sudah meninggal, kau masih memilikiku.....aku akan mendukungmu sama seperti yang kakakmu lakukan padamu" lanjutnya dan memelukku.

'Ah......apa yang harus aku lakukan ayah, ibu, kakak?' batinku sambil menangis. 

Aku tetap bertanya walau aku tau bahwa tak akan ada jawaban dari orang yang sudah meninggal.

'Larie merindukan dekapan kalian' batinku. 'Tolong bantu Larie......' batinku sekali lagi

Setelah sekian lamanya, aku kembali menangis bukan dalam dekapan ayah, ibu ataupun kakak laki lakiku, melainkan dekapan iparku dan juga keponakanku yang terasa hangat.

A CANVASWhere stories live. Discover now