chapter 12: "saling terbuka"

40 6 7
                                    

  Aku merasakan sinar matahari pagi yang menyelinap masuk dari balik jendela di ruangan itu.

Perlahan lahan, aku mulai membuka mataku dan terbangun dari dunia mimpi.

Aku berbalik dan Nicholas masih tertidur dengan nyenyak disampimgku. Salah satu tangannya masih melingkari pinggangku.dan yang lainnya menjadi bantal untuk kepalaku.

Aku mulai mencoba melepaskan pelukan Nicholas, perlahan tapi pasti.

Tak lama, pelukan itu terlepas. Aku segera bangun dari tempat tidur hendak mencari toilet untuk mencuci muka.

Baru aku hendak melangkah, pergelangan tanganku dipegang dan menahan diriku. "Mau kemana?" Tanya Nicholas. 

Dia menarik kembali diriku ke dalam pelukannya dan mendekapku erat. "Lima menit lagi...." ucapnya dan memposisikan dirinya berada dalam dekapanku.

Aku menghela nafas. "Nicholas" panggilku. "Hm?" Jawabnya mulai membuka mata dan menatapku.

"Aku harus mencuci mukaku.....bisakah kau melepaskanku?" Tanyaku. Nicholas diam sejenak kemudian mulai melepaskan pelukannya.

Aku bangkit dari tempat tidur dan beranjak pergi ke toilet untuk membasuh wajah. 

Setelahnya, aku kembali ke kamar Nicholas. Aku melihat para perawat sedang mengganti beberapa perbannya kemudian meninggalkan kami.

"Apa itu sakit?" Tanyaku. Nicholas tersenyum "aku sudah terbiasa dengan luka seperti ini....kau tak perlu khawatir" ucapnya.

Aku mengambil kursi di samping ranjangnya dan duduk dengan nyaman. "Sebenarnya kemana saja kau selama beberapa bulan terakhir?" Tanyaku tanpa basa basi.

Dia terdiam sejenak. "Apa kau mendengar tentang pertempuran di Moskow?" Tanyanya. "Ya aku sempat mendengar-" aku terhenti sejenak. "Kau....berada disana?" Tanyaku dan dia menganggukinya.

"Bagaimana hasilnya?" Tanyaku ragu. "Kami dipukul mundur" ucapnya menghela nafas dan aku hanya mengangguk.
Bagaimanapun dia kalah perang tetapi aku tak pandai menghibur orang lain

"Pantas saja kau pergi berbulan bulan....." ucapku. "Padahal ku pikir kau mungkin sudah membenciku" ucapku.

"Tidak." Ucapnya cepat. "Aku tak pernah membencimu Larie...."

"Setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap waktu yang kuhabiskan, hanya kau yang ada di pikiranku Larie. Hanya kau" ucapnya serius.

Aku tersenyum pahit. "Lantas mengapa kau tak pernah membalas suratku?" Tanyaku mulai sedikit tersulut emosi.

Nicholas terdiam menatapku dengan aneh."surat…..surat apa?" Dia nampak bingung. "Kau....mengirimkanku surat?" Tanyanya.

Suasana kami menjadi hening. Setelah beberapa saat, aku menyadari bahwa suratku tak pernah sampai ke tangan Nicholas.

"Ah.....begitu rupanya..." ucapku. "Ternyata suratku tak pernah sampai kepadamu" ucapku.

"Aku akan mencarinya." Ucap Nicholas. "Tidak, kau tak perlu melakukannya." Ucapku. 

"Tidak Larie. Aku akan mencari surat itu hingga ketemu" ucapnya lagi membuatku menghela nafas lelah.

'Dia benar benar keras kepala' batinku.

"Kau Tau, surat adalah ide dari kakak iparku" aku mulai memainkan tanganku. "Dia mengatakan bahwa setiap pasangan memerlukan komunikasi yang baik agar tidak terjadinya keretakan dalam hubungan" lanjutku.

Nicholas mendengarkan dengan seksama. "Karena itu" aku menatap Nicholas lekat  "tanyakanlah semua yang ada di pikiranmu....aku akan menjawabnya" ucapku serius.

Nicholas nampak ragu tetapi pada akhirnya dia mulai mengeluarkan suara. "Baiklah..." dia menatapku. "Pertama tama bagaimana keadaanmu selama ini?" Tanyanya.

"Yah begitulah…….hanya kurang tidur tapi selebihnya baik." Ucapku.

"Kau harus banyak tidur Larie….kau nampak lelah" ucapnya khawatir. 'Gara gara siapa coba aku tak bisa tidur' batinku kesal tapi aku hanya mengangguk

Nicholas nampak ragu sebelum bertanya lagi "lalu mengapa…… kau membenci tentara?" Tanyanya.

Aku sudah memprediksi pertanyan ini. "Aku tak pernah membenci tentara" ucapku. "Aku hanya membenci perang" lanjutku.

"Ayahku dan juga kakakku mati karena perang" ucapku memcoba tenang. "Maka dari itu aku takut jika aku akan kehilangan lagi" lanjutku.

Nicholas terdiam kemudian menangkup wajahku dengan satu tangan. "Aku tidak akan mati" ucapnya lembut. "Aku berjanji padamu" ucapnya.

Aku menatapnya sebentar. "Sejujurnya, aku yatim piatu" ujar Nicholas jujur. "Lebih tepatnya aku dibuang dan seorang tentara memungutku" lanjutnya.

"Aku mulai dibesarkan dengan maksud menjadi seorang tentara....bahasa kasarnya aku adalah manusia tempur yang mengabdi pada negara" ucapnya.

"Kejam sekali...." ucapku tanpa sadar. "Memang" Nicholas nampak seruju. "Tapi aku tak punya pilihan lain" ujarnya lagi.

"Tapi aku bersyukur" ucapnya. "Bersyukur untuk apa?" Tanyaku. 

"Karena kalau aku tidak menjadi tentara, mungkin aku tak akan bertemu dengan dirimu" ucapnya tersenyum. "Yah, walau dengan cara yang paling tidak mengenakkan" lanjutnya.

Dia membelai rambutku lembut. "Aku menyukaimu" ujarnya. "Sejak awal aku melihatmu" lanjutnya.

Aku hanya bisa terdiam. Wajahku pasti sudah memerah sekarang.

"Aku...." aku menahan perkataanku. "Aku pun begitu" aku menatapnya.

Dia nampak begitu kaget. Tanpa menyia nyiakan waktu, dia segera menarik dan memeluk diriku dengan erat. "Terimakasih" ucapnya.

Aku membalas pelukannya dan menepuk nepuk pelan punggungnya.

"Kedepannya akan banyak yang harus kita hadapi" ucapku. "Walau begitu, aku ingin agar kita menanggungnya bersama sama" aku menangkup wajahnya dan menaruh dahiku di dahinya.

"Mari kita hadapi semuanya bersama sama" ucapku dan diangguki Nicholas.

"Aku akan melindungimu....akan ku pastikan itu" ucap Nicholas menggenggam erat tanganku.

Aku hanya bisa berharap bahwa itu memang benar dan bukanlah kebohongan belaka.

"Jangan tinggalkan aku" ucapku pelan. "Tak akan" jawabnya cepat.

Nicholas merangkulku kembali, membawaku ke dalam pelukan hangat pria itu.

'Kami hanyalah dua jiwa yang hancur' batinku. 'Tapi kami mencoba untuk menyelamatkan satu sama lain' batinku dan membalas pelukan Nicholas.

A CANVASWhere stories live. Discover now