18 - Hilda's Confession

9 1 0
                                    

▪︎▪︎▪︎

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

▪︎
▪︎
▪︎

Di sinilah Maxime dan Hilda berada sekarang. Suatu sungai di pinggiran kota dengan pemandangan alam yang sempurna. Batu-batu besar di tengah sungai, lumut-lumut nakal yang menyertainya, lalu ikan-ikan kecil yang dengan lincahnya berenang di sana. Siapapun pasti akan betah menetap lama-lama di sungai ini.

Yang jadi pertanyaan Maxime sedari tadi adalah ... kenapa Hilda membawanya kemari?

"Duduk sini," ujar Hilda sembari menepuk-nepuk batu besar yang tengah didudukinya. Gadis itu memakai celana kulot berwarna cokelat dan atasan blouse berwarna cream, serta kerudung segi empat yang senada dengan celananya. Simpel, tapi cantik!

Maxime menurut dan mendudukkan diri di samping gadis bernama lengkap Hilda Alisha Mehra tersebut. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh sang gadis dalam diam.

Sementara Hilda? Gadis bernetra bulat itu tengah mempersiapkan diri untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan pada pemuda di sampingnya setelah dua minggu terakhir bimbang akan perasaannya sendiri. Kini Hilda sudah memantapkan hati, dan siap mengungkapkan apa yang tengah dirasakannya kini.

"Haidar, maaf kalau aku kesannya gantungin perasaan kamu selama beberapa hari terakhir ini." Hilda memulai percakapan dengan netra yang fokus menatap pada aliran sungai. "Aku hanya belum mengerti, apakah aku punya perasaan yang sama ke kamu atau tidak. Aku hanya ingin memastikannya."

Esfandiar Haidar Arash, atau pemuda yang biasa dikenal dengan nama panggung Maxime itu masih diam dan mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh gadis di sebelahnya. Tentunya dengan detak jantung yang bekerja lebih cepat daripada biasanya.

"Aku pernah jatuh cinta, tapi cinta itu tidak sempat kumiliki karena aku terlalu pengecut untuk memulai." Hilda mendongak dan menatap langit biru di atas sana dengan senyuman. "Tetapi aku tidak menyesal, karena aku melihat dia bahagia dengan gadis pilihannya. Cinta itu juga butuh pengorbanan, bukan?" Hilda menoleh ke arah Maxime dan menatap wajah pemuda itu dari samping tanpa menghilangkan senyuman manis di bibir mungilnya.

Maxime jelas terpaku saat mendapat tatapan teduh dan senyuman semanis itu dari gadis pujaannya. Demi Tuhan, Hilda berhasil membuat dirinya gila!

"Ya, itu ... entahlah."

Maxime merutuki dirinya dalam hati karena di saat-saat seperti ini, ia malah tidak sanggup berbicara banyak untuk menjawab pertanyaan yang Hilda lontarkan padanya. Ia terlampau gugup dan grogi sekarang!

Lagi-lagi, Hilda tersenyum. Gadis itu kembali mengalihkan tatapannya pada aliran sungai yang tenang. "Sejak itu, aku takut untuk kembali jatuh cinta, Haidar. Hingga aku ketemu sama kamu." Sejenak Hilda terdiam dan menautkan jari-jarinya untuk mengurangi rasa gugup. "Awalnya aku risih, karena kamu sok kenal dan sok dekat sama aku. Tapi lama-lama, aku jadi terbiasa sama kehadiran kamu. Apalagi kamu tau sendiri, orang tua aku jarang pulang dan lebih sibuk dengan pekerjaan mereka."

"Eh! Kok aku jadi curhat gini, ya?" Hilda tertawa kecil sebelum menghela napas kemudian. Tatapannya kembali menyendu. "Aku anak tunggal, dan aku tidak begitu punya banyak teman di sekolah, Haidar. Saat inipun, teman aku ketika di rumah ya cuma kamu. Selebihnya? Hanya bisa berkomunikasi lewat chat dan sosial media saja."

Hilda terdiam cukup lama setelahnya. Maxime sampai dibuat mengerutkan kening heran karena tak kunjung mendengar curahan hati dari bibir Hilda lagi. Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menoleh ke samping dan mendapati Hilda sudah menangis dalam diam. Tidak ada suara isakan ataupun sesenggukan. Gadis itu hanya menunduk dengan air mata yang terus menetes dari netra bulatnya.

"Eh! Lo kenapa nangis?!" Jelas saja Maxime panik. Nanti dia lagi yang kena dan dituduh yang tidak-tidak, kalau sampai ada orang yang melihat.

"Hahaha, maaf!" Hilda menghapus air matanya dengan cepat. "Aku terlalu menyedihkan, dan aku bukanlah gadis yang pantas disukai oleh orang seperti kamu, Haidar. Aku merasa tidak pantas," lirih Hilda setelahnya.

Di titik inilah yang Maxime tidak suka dari perkataan Hilda. Pemuda itu dengan berani menatap tepat pada kedua bola mata sang gadis yang tampak berair. "Kenapa lo ngambil kesimpulan kayak gitu?" tanyanya tak suka. "Nggak ada yang namanya pantas dan tidak pantas. Yang ada cuma rasa suka dan tidak suka. Sekarang gini, deh. Lo suka sama gue apa enggak?"

Hilda mengangguk kecil.

"Nah, apa yang buat lo mikir kalo lo nggak pantas buat bersanding sama gue? Gue suka sama lo, dan lo juga suka sama gue. Kita sama-sama suka. Perasaan kita sama. Di mana letak nggak pantasnya?"

Tidak ada jawaban dari Hilda selain ekspresi gadis itu yang semakin muram.

"Dengar, Hilda. Sekarang tergantung sama lo. Gue nggak akan maksa. Kalo lo emang nggak mau, ya udah. Kita cukup jadi teman aja dan buat seolah-olah kejadian hari ini nggak pernah terjadi."

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Maxime membuat Hilda spontan menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu dengan berani menatap tepat pada kedua bola mata hitam milik pemuda di sampingnya. "Kenapa kamu ngomong gitu?! Nggak mungkin aku lupain kejadian hari ini gitu aja!" tekannya sambil menahan tangis. "Aku suka sama kamu, Haidar! Dan aku mau jadi pacar kamu!" seru Hilda berapi-api. Jangan lupakan kepalan tangan gadis itu yang spontan saja membuat Maxime menyemburkan tawanya.

"Hahaha, astaga. Lo lucu banget, sumpah!"

Hilda yang baru saja tersadar akan ucapannya, langsung saja menutup wajah meronanya dengan kerudung yang ia pakai. "Haidar! Jangan ketawa, ihhh!" rengeknya. "Aku kan maluuuu!"

"Hahaha! Iya, aku mau jadi pacar kamu kok!"

"HAIDAR, IHH! AKU NGAMBEK, NIH?!"

"HAHAHAHA!"

▪︎
▪︎
▪︎

Wkwkwk, si Maxime jahil banget sih🤣😭

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Wkwkwk, si Maxime jahil banget sih🤣😭

D'MOST SAGA CRUSH ✔Where stories live. Discover now