Chapter 7 Ringkih

135 28 3
                                    

Nara berdiri dengan sedikit gemetar. Memegangi pipinya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Lazuardi menanyakan itu pada Nara. Setelah Lana meninggalkan mereka berdua, pergi begitu saja. Mungkin perempuan itu tersinggung pada kata-kata Lazuardi, akan tetapi, sikapnya memang tidak sopan.

"Aku baik-baik aja. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi ...." Nara memandang ke arahnya. "Bagaimana kamu mengenal Lana?"

"Aku satu kantor dengannya dan kebetulan dia bawahanku."

Raut wajah Nara tampak tidak terlalu terkejut mendengar ucapannya. Lazuardi melanjutkan. "Aku tidak menyadari kalau dia adalah saudara sambungmu."

"Aku berusaha selalu bersikap baik pada Lana, tapi entahlah, sejak awal dia nggak suka mamaku menikah dengan papanya. Padahal kami dulu bersahabat, Lana pikir, aku mungkin merampas perhatian apa," lirih Nara.

"Itu sesuatu yang biasa terjadi." Lazuardi mengajaknya masuk ke dalam ruangan.

"Tapi Lazu, kalau dia bawahanmu di kantor, bersikaplah baik padanya. Bagaimanapun, aku merasa sangat bersyukur bisa bergabung dalam keluarga Lana."

Lazuardi menatap mata Nara yang berkaca. Kasihan juga dia, berusaha bersikap baik pada perempuan yang tidak perlu itu. Lana pastilah penuh kebencian terhadap Nara.

***

Lazuardi melihat ke arah abangnya. Kenapa dia berdiam diri seperti itu? Beberapa hari setelah malam amal, Lazuardi menyadari abangnya lebih sering diam dan berada di rumah. Dia bahkan membatalkan beberapa pertemuan dengan klien dan hanya pergi saat ada rapat yang amat penting.

Malam ini juga begitu, sepulang kantor, Lazuardi melihat abangnya duduk di teras belakang. Menilik dari kopinya yang telah habis, dia pastilah telah lama berada di sana.

"Abang sakit?" Lazuardi menarik kursi di sebelah abangnya, bertanya.

Gio menggeleng. Dia tampak muram. Padahal hari ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan, karena seingat Lazuardi tadi pagi ibu mereka berkata kalau abangnya akan bertemu dengan rekanan yang akan menjadi investor terhadap proyek perusahaan mereka.

Sepanjang ingatan Lazuardi, Gio sangat jarang berwajah muram. Sekalipun dia sedih ataupun sedang tidak mood, dia selalu berusaha terlihat ceria di hadapan orang-orang, terutama di hadapan Lazuardi dan ayah mereka.

Sampai terkadang, Lazuardi berpikir kalau Gio berusaha sangat keras untuk menjadi anak yang baik, itulah yang membuat Lazuardi tidak memiliki kecemburuan padanya.

Kalau dirinya, tidak akan bisa bersikap seperti Gio, dia lebih suka kondisi yang seperti saat ini. Dulu, ayahnya sering sekali memarahinya karena bermalas-malasan dan tidak peduli pada urusan keluarga. Namun, sejak ada Gio dalam keluarga mereka, Lazuardi lepas dari semua tanggung jawab. Itu karena semuanya diurus oleh Gio, bahkan ayahnya juga membiarkan Lazuardi melakukan apa yang dia inginkan. Kecuali untuk satu hal, Lazuardi tetap harus bekerja keras membantu bisnis keluarga dan menjaga nama baik keluarga. Ayahnya, orang yang sangat menjunjung tinggi nama baik keluarga besar mereka.

Gio menghela nafas.

"Kenapa abang bersikap seperti itu?" tanya Lazuardi.

"Entahlah, Lazu. Abang mulai berpikir kalau masalah memang sebaiknya dihadapi. Lari dari kenyataan nggak benar-benar bisa membuat kita menghindari masalah."

Lazuardi tidak memahami perkataan abangnya. Sepengetahuannya, Gio bukan tipe orang yang sering kabur dari masalah. "Oh, ya?"

Gio tersenyum, tanda kalau dia enggan melanjutkan percakapan mereka. "Tampaknya, papa benar-benar merestui hubunganmu dengan Nara. Terima kasih sudah membantu abang." Benar rupanya dia mengalihkan perhatian.

Pendar (Masa Lalu Berselimut Jelaga)Where stories live. Discover now