Chapter 15 Jangan Berjanji

133 25 2
                                    

Gio memejamkan mata, dia mencium aroma teh. Wanginya selalu berbeda-beda mungkin. Safira memang berbeda.

"Ada apa? Kamu nggak biasanya kayak gini?" Safira meletakkan cangkir teh di atas meja. Gio beringsut bangun, waktunya tidak pernah tepat. Akan tetapi, Gio harus mengatakannya.

"Safira, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."

Safira menatapnya lekat mata Gio, kecoklatan dan terlihat sayu. Safira tersenyum sedikit. "Serius banget kayaknya."

Safira memang penyayang dan keibuan, mungkin itulah yang membuat Gio merasa selalu nyaman berada di sebelahnya. Seolah Safira memiliki aura penyembuh, membuat sakit di kepalanya hilang.

"Apa pembicaraan ini serius? Kabar baik atau kabar buruk?" tanya perempuan itu lagi.

Gio menyugar rambutnya. "Safira, kamu tahu, kan, apapun yang terjadi, aku pasti akan melindungimu dan menjagamu. Selalu."

Raut wajah Safira berubah. "Kenapa bicara begini?" Safira mendapat firasat yang tidak enak.

Sekalipun Safira segera bersikap lembut, namun, sesekali dia bisa menjadi sangat tegas. Dia sudah mengalami banyak pengalaman di dunia yang membuat dia harus berubah sikap sesuai dengan yang ditentukan. Terutama menghadapi seorang mantan suami kriminal.

"Kenapa kata-kata itu, membuatku merasa kalau aku akan ditinggalkan." Safira membenarkan dasternya.

"Aku nggak akan meninggalkanmu, Fira. Aku banyak berhutang budi padamu." Gio meraih tangan Safira dan mengecupnya.

"Kamu pernah janji sama aku, kalau kita akan terus bersama. Pada saat itu, aku sama sekali nggak yakin kalau pria seperti kamu bisa jatuh cinta sama perempuan semacam aku," keluh Safira.

"Jangan pernah merasa seperti itu, kamu tahu aku selalu merasa bersalah karena apa yang aku lakukan dulu dan sekarang, aku memiliki kesempatan untuk menebusnya."

Mata Safira berkaca. "Jadi, aku harus berkorban?"

Gio diam. Dia memang seorang pendosa, selalu menyakiti hati orang lain. Hanya saja, ini bukan keinginannya sama sekali. Gio seharusnya bukan orang seperti itu, dia seharusnya seorang pria gentlemen. Tapi dunia ini yang mengubahnya. Hinaan dan cacian di masa lalu terhadap dirinya dan ibunya, membuat mereka harus berubah menjadi orang lain yang bukan seperti mereka sebelumnya.

"Aku belum tahu apa yang akan terjadi, hanya saja, aku terpaksa mengatakan ini padamu sekarang. Aku nggak ingin ini terjadi, tapi ketika aku nanti melakukan apa yang sedang aku rencanakan. Aku tahu kamu pasti bakalan terluka."

"Kalau memang itu udah keputusan kamu aku bisa apa," Safira mendesah. "Setelah minum tehnya, tinggalin aku sendiri. Aku ingin berpikir tentang semuanya."

"Fira, maaf." Gio menyeruput tehnya sampai tandas, dia kemudian berpamitan pada Safira.

Sepeninggal  Gio. Safira memutar matanya, sorotnya jadi tajam, tidak sayu seperti sebelumnya. Dia menelepon seseorang.

"Ya. Baru saja dia pulang. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi aku nggak akan pernah membiarkan dia meninggalkan aku."  Mata Safira terbalak nyalang.

***

Usai mengantar Mawar ke rumah Rania, Lazuardi dan Lana kembali ke mobil. Hal itu membuat Rania memandang penuh selidik, namun dengan segera membawa Mawar ke dalam kamar.

Di dalam mobil Lana berkata. "Ucapan Mawar tadi, jangan diambil hati, ya, Pak."

Lazuardi tersenyum. "Terkadang ucapan itu bisa jadi manifest. Kita nggak tahu apa yang terjadi di masa akan datang."

Pendar (Masa Lalu Berselimut Jelaga)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang