7 | Restu Samudra

515 68 15
                                    

Meninggalkan Baremi tepat setelah matahari terbit, rombongan lawatan bergerak ke arah Selatan. Rombongan melewati persawahan, nampak padi-padi yang menunduk, seolah memberi salam penghormatan kepada sang Maharaja yang akan melintas. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan melewati pedesaan. Penduduk di sana begitu senang hati menyambut Sri Baginda dan keluarganya dengan mengguyur rajamarga menggunakan air suci dan melantangkan puja puji tentang keagungan raja mereka. Desa pertama bernama Banjarsawah, yang kaya akan persawahan, kemudian desa kedua adalah Ranubedali.

Rombongan terus bergerak ke Selatan, melewati bukit, hutan belantara, perkampungan, pusat kota hingga wilayah yang bernama Arenon. Beberapa waktu kemudian, akhirnya, lawatan sang Maharaja tiba di Tepasana. Rombongan mendekati Jawadwipa bagian Selatan, yang mana terkenal dengan keindahan Laut Selatan dengan pasir putih dan ombak besar nan ganas.

Hayam Wuruk tak memberikan perintah untuk berhenti, alhasil rombongan pun terus melaju. Sepanjang perjalanan, penguasa Majapahit itu bergelut dengan pikirannya. Ucapan Gajah Mada seolah berputar terus menerus, tak memberikan sang empu waktu untuk berhenti. Pria itu tengah mencerna, siapakah yang sebenarnya membuatnya kalut?

Sang Maharaja mengibas-ibaskan kepalanya. Ia berusaha untuk menyingkirkan sejenak perasaan yang menyusup dan memenuhi relung hatinya. Sebagai sosok raja, dirinya harus mendahulukan kepentingan rakyat dan keselamatan kerajaan. Maka dari itu, ia harus memastikan bahwa rombongan yang dibawanya tetap aman sampai nanti kembali ke kotaraja.

"Katakanlah, Ra Kebo," gumam Hayam Wuruk sembari menyesap srebad hangat di dalam tendanya.

Ra Kebo, pria itu dikenal sebagai sida yang bertugas di aula utama. Namun, bagi Hayam Wuruk berbeda, Ra Kebo merupakan telik sandi yang ia percayai semenjak menjabat sebagai Maharaja. Lantas, Ra Kebo bersimpuh dan mengulungkan sebuah daluang kepada Hayam Wuruk.

Sang Maharaja mengambilnya. "Apa ini?" Alisnya tertaut, lalu menatap Ra Kebo lekat, sarat akan penjelasan.

Ra Kebo menegakkan tubuhnya. "Itu adalah gambar simbol, Gusti Prabu. Anak panah yang dilepaskan oleh buronan itu memiliki simbol tersebut."

Ya, sekilas Hayam Wuruk mengingat saat dirinya sedang dalam perjalanan dari Wengker ke Kotaraja Trowulan, seseorang mencoba melukainya dengan melesatkan anak panah. Untung saja, ia dan Sudewi sempat menghindar. Alhasil, orang yang tak dikenal itu tidak berhasil melukainya. Namun, kabar buruknya adalah sampai saat ini belum ditemukannya bukti kuat mengenai sosok pria tersebut dan dalang di baliknya.

"Orang itu menyusup di antara prajurit yang mengawal lawatan, Gusti Prabu. Namun, kita tidak bisa langsung menangkapnya. Bukan tidak mungkin, pria tersebut memilih mati daripada membuka mulut. Hal itu sangat merugikan kita karena gagal menangkap otak di balik penyerangan Maharaja Majapahit." Ra Kebo memberikan penjelasan yang masuk akal, sehingga Hayam Wuruk pun mengangguk. "Hamba juga khawatir, orang tersebut membawa pasukan yang bisa mencelakai keluarga kerajaan dan anggota rombongan yang lain."

Kedua kalinya, Hayam Wuruk menganggukkan kepala, menyetujui pertimbangan dari Ra Kebo agar tidak terjadi kepanikan di dalam rombongan. "Adakah hal lain, Ra Kebo?" tanya pria yang menguasai seantero Sweta Dwipa.

Ra Kebo menunduk. Ia menghela napas singkat. "Terdapat hal penting mengenai penyerangan ke Nan Sarunai satu tahun lalu. Hamba mendengar dari awak kapal perbekalan bahwa terdapat lima orang baru yang akan turut serta. Kelima nama tersebut tidak bisa dikenali, sehingga hamba menyimpulkan bahwa identitas yang mereka gunakan adalah palsu."

Benar, dugaan sang Prabu memanglah tak meleset. Sedalam itukah perasaan pria Sudra kepada istrinya? Ah, Hayam Wuruk cukup terkejut, tetapi, ia haruslah menampakan ketenangan, supaya pergerakannya tidak dapat dibaca oleh siapa pun.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARIWhere stories live. Discover now