34 | Mada Wreddha

514 47 20
                                    

1285 Saka

Ada hal yang pantang terlupakan. Layaknya waktu yang terus bergulir, di situlah seorang manusia diuji oleh masanya masing-masing. Kisah-kisah yang tertulis baik dan buruk bersatu padu dalam sejarah. Entah oleh karangan para pujangga ataupun mulut ke mulut. Begitulah, sebuah cerita abadi akan terus diingat oleh pewaris sah tanah ini. Menciptakan keabadian, dibangunlah tempat peringatan. Lantas, dipilihlah daerah Simping oleh Prabu Jayanagara —Raja Majapahit II— pada saat perayaan dua belas tahun wafatnya Prabu Kertarajasa Jayawardhana sebagai candi pendharmaan.

Perjalanan Majapahit dari sebuah desa kecil hingga menjadi kemaharajaan agung tak akan lepas dari ingatan orang-orang yang berkecimpung langsung di dalamnya. Hal itu tak terlepas dari benak sang Mahapatih Wilwatikta. Ya, tak lain adalah Gajah Mada. Tubuh yang tak lagi tegap memantapkan niat untuk bertemu Sri Prabu di kediamannya. Bukan tanpa alasan, Gajah Mada membawa segenap keyakinan.

Prajurit Bhayangkara kebanggaan Majapahit memberi jalan untuk sang Mahapatih. Memasuki Keraton Wanguntur, nampak dayang-dayang dan abdi dalem berlalu lalang. Mereka disibukan karena sang Maharaja akan mengadakan lawatan kembali. Tentunya, semua butuh persiapan yang matang. Saat melihat Gajah Mada, mereka dengan sigap menunduk. Ada yang bertanya-tanya, apa gerangan Gusti Mahapatih kemari? Yang lain menjawab, bukan pemandangan langka Mahapatih Mada bertandang ke Keraton Wanguntur.

Kedatangan Gajah Mada disambut hangat oleh Ra Banyak. Lantas, sida itu mengantarkan sang Mahapatih ke tempat Sri Maharaja berada. Terus berjalan, mata Gajah Mada menangkap punggung kekar yang membelakanginya. Tak ada upawita yang menghiasinya. Busana Hayam Wuruk sangat sederhana. Ah, maklum saja, ia tengah bersantai sembari menikmati langit sore.

Menyadari seseorang mendekat, Hayam Wuruk membalikkan badannya. Alisnya bertaut saat melihat siapakah orang tersebut. "Paman?" Ia terperanjat, detik kemudian, wajahnya berubah seperti biasa.

Gajah Mada berjalan mendekat. "Salam, Gusti Prabu."

"Ada apa Paman kemari?" Hayam Wuruk tak membutuhkan basa-basi, apalagi saat ini seharusnya Gajah Mada bersiap untuk perjalanan panjang esok hari.

Gajah Mada mengambil napas, kemudian melepasnya dengan penuh penghayatan. Tangannya bergerak, mengatup di depan dada. Sorot matanya menyiratkan sebuah permintaan. "Mohon ampun seribu ampun, Paduka Prabu Sri Nata Wilwatikta. Bukan maksud saya melalaikan tugas sebagai Mahapatih Amangkubhumi, tetapi izinkanlah saya mengutarakan keinginan saya," pintanya dengan suara yang nyaris membuat Hayam Wuruk terenyuh.

Hayam Wuruk memajukan tangan kanannya, mempersilakan Gajah Mada. "Katakanlah, Paman," ujarnya kemudian.

"Izinkan saya untuk tidak mengikuti lawatan tahun ini, Paduka Raja," sahutnya tegas. Bekas luka di tubuhnya menjadi tanda bahwa ia telah berjuang selama mendapat mandat sebagai Mahapatih Wilwatikta. Lelahnya mengindikasikan bahwa ia sudah mengerahkan seluruh hidupnya untuk menjaga agar sang surya tetap bersinar terang benderang. "Kesibukan duniawi membuat saya melupakan kewajiban menyucikan jiwa dengan semadi. Saya berencana untuk melakukan semadi di Madakaripura. Tempat tersebut merupakan tanah anugerah yang Anda berikan untuk saya. Alangkah terberkatinya saya jika bisa mendekatkan diri kepada Sang Hyang Adi di tanah perdikan. Namun, semua itu hanya bisa saya lakukan atas restu dari Anda sebagai Sri Prabu," papar Gajah Mada sejelas mungkin demi menghindari kekeliruan.

"Paman ... " Ucapan Hayam Wuruk terhenti, tatapannya mencari-cari kebenaran di mata Gajah Mada yang ia rasa tak secerah biasanya. " ... apakah Anda baik-baik saja?" Hayam Wuruk mendesak, tetapi tak ia dapatkan kepuasan dari rasa penasaran yang hinggap di kepalanya.

Bibir Gajah Mada perlahan terangkat, membentuk lengkungan. "Terlepas hadir atau tidaknya saya, tak menghalangi rangkaian upacara peresmian candi pendharmaan Prabu Kertarajasa."

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARIWhere stories live. Discover now