11 | Asrama Asmara

600 60 1
                                    

Setelah menghabiskan lima hari di Keta, rombongan lawatan segera beranjak menuju ke arah Barat. Sesampainya di Kalayu, sang Maharaja memerintahkan rombongan untuk berhenti. Tempat tersebut merupakan tanah perdikan. Di sana, terdapat makam sanak saudara Maharaja. Seusai melakukan Memegat Sigi, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kambangrawi. Sri Prabu menganugerahkan tanah tersebut kepada Mpu Lembu Nala. Tibalah rombongan sang Tumenggung untuk bergabung dengan Maharaja. Mereka melakukan perjamuan sekaligus serah terima tanah anugerah. Rombongan yang menyertai Mpu Lembu Nala sangatlah kecil, hanya beberapa pasukan wwang jaladhi saja yang menemani. Sebelumnya, Hayam Wuruk bersua dengan laksamana tersebut saat berpesiar di Sarampuan dan Kutha Bacok.

Kambangrawi ditinggalkan, perjalanan kali ini berlanjut ke arah Barat dan sampai di Pajarakan. Selama empat hari, rombongan lawatan bermalam di pelataran candi Buddha yang dipimpin oleh Arya Sujanottama. Kemudian rombongan bergerak ke Selatan, memasuki hutan rimba nan pekat. Mereka tak lagi bisa menikmati keindahan pantai. Namun, semuanya terbayarkan oleh ketenangan sebuah asrama yang dibangun di tengah hutan. Asrama tersebut bernama Asrama Sagara.

Hati Sudewi kembali berdegup kencang. Saat angin dan embun menyapa kulitnya, di situlah ia mengerti bahwa keberadaanya diterima dengan baik. Sudewi tetap melangkah, menuju ke sebuah patotoyan yang di setiap sisinya terdapat pohon kelapa gading kuning. Sungguh menakjubkan, mengapa segala hal yang berkaitan dengan nama Sagara selalu memikat di matanya. Ah, perasaan rindu ini ternyata belum berbayar lunas. Ketika melihat rombongan Mpu Lembu Nala beberapa hari yang lalu, Sudewi tak menangkap sosok Sagara yang menyertainya. Mungkin, anggota wwang jaladhi itu tidak turut serta.

Wajah-wajah terpukau tak hanya terlukis pada Sudewi, seluruh rombongan pun sama. Mereka juga terperangah dengan asrama yang bersembunyi di tengah-tengah rimbunnya hutan. Lukisan yang ada pada dinding-dinding bangunan membentuk cerita wayang. Lihatlah, Mpu Prapanca dengan gembira membaca cacahan tersebut. Ia seolah melupakan kesedihan akibat ditinggalkan oleh temannya yang merupakan seorang kawi Buddha. Bahkan, Mpu Prapanca mengajak para murid dan pertapa di asrama itu untuk melantunkan saloka. Asrama Sagara berbentuk melingkar dengan pelataran luas di tengahnya. Adapun bunga nagakusuma berhamburan jatuh di tempat tersebut, sehingga menambah pesonanya.

Sudewi mengambil posisi nyaman di pinggir patotoyan. Ia mendudukkan tubuhnya, sedangkan tangannya berayun untuk menyentuh air. Tak ia sangka, gelombang kecil yang dirinya ciptakan membawa sebuah bunga teratai mendekat. Tanpa pikir panjang, sang dewi pun mengambilnya. Teratai di patotoyan itu berwarna merah muda, berbeda dengan miliknya di Kaputren yang berwarna merah menyala. Namun, keduanya tetap cantik di mata Sudewi.

Seseorang bergabung dengannya, ialah Indudewi. Melakukan hal yang sama seperti si Nimas, Indudewi bermain-main dengan air yang dingin. Ia mengambil napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Sejuk, kata itulah yang bisa ia simpulkan. Kemudian, wanita bergelar Bhre Lasem itu melirik ke arah Sudewi yang tengah mengamati bunga teratai di tangannya.

"Apakah kau menyukainya, Dewi?"

Sudewi tersenyum simpul. Ia merindukan suara Indudewi yang memanggil namanya. Di sini, mereka tak perlu risau dengan gelar dan segala tetek bengeknya. Di tempat ini, mereka bebas berekspresi. Lagipula, sejak turun dari pedati, Sudewi tak melihat Hayam Wuruk. Semakin senangnya hati sang dewi karena tidak perlu memusingkan perdebatan tak penting dengan pria itu. "Aku sering melihat bunga ini di kolam ikan milik Romo. Ternyata, bila dilihat dari dekat, semakin cantik," tuturnya lepas. Ya, Sudewi bahagia karena dapat mengikis jarak di antara mereka. Terlebih, wanita bangsawan itu duduk tanpa alas apapun. Sungguh, berbanding terbalik dengan seorang permaisuri yang tak tersentuh.

Indudewi terkikik pelan, lalu mencondongkan kepalanya. Nampaklah sebuah pantulan yang ada di air. "Air menyatakan segalanya. Ia tak pernah berbohong."

Gumaman lirih Indudewi nyatanya tertangkap jelas oleh telinga Sudewi. Lantas, sang Dewi pun mengangguk. "Benar, Yunda. Kau bisa melihat dirimu apa adanya. Selain sumber kehidupan, air juga mengatakan sebuah kejujuran," timpalnya.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARIWhere stories live. Discover now