37 | Pawarta Madakaripura

367 42 21
                                    

1286 Saka

"Saya tidak pernah meragukan Anda, Sri Sudewi."

Bisikan nyata menyapa telinga seorang wanita yang tengah terlelap. Seketika, matanya terbuka sempurna. Hanya keheningan yang menyambutnya. Lihatlah, putri kecilnya masih berkutat di alam mimpi. Sudewi, permaisuri itu menatap langit-langit kamarnya yang berhias juntaian bebungaan. Putih warnanya. Ia sengaja memilih warna berbeda setiap harinya agar putrinya tidak mudah bosan. Seperti namanya, Kusumawardhani menyukai bunga. Apalagi bunga-bunga itu menebarkan semerbak wangi yang mampu membius siapa saja yang menghirupnya.

Sudewi menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terlena dengan bunga, sehingga melupakan bunga tidur yang bisa saja menjadi petunjuk. Ucapan itu dilontarkan oleh seseorang yang dirinya kenali. Ialah Gajah Mada. Benar, tidak salah lagi. Sebelum kepergiannya ke Madakaripura, Gajah Mada berulang kali meyakinkannya. Ah, di antara petinggi istana, hanya mahapatih tersebut yang tak pernah meragukan Sudewi. Sang Dewi kembali mencerna maksud dari mimpinya. Tangannya mengepal kuat. Ia tak sanggup lagi dengan bayangan-bayangan buruk yang silih berganti menghinggapi pikirannya.

Jujur saja, hari-hari Sudewi lewati dengan perasaan tak tenang. Kepulangan Hayam Wuruk setelah melakukan puja bhakti di daerah Simping membawa kabar yang tak mengenakkan. Pertama mengenai Sotor yang menjarah kepercayaan petinggi Kahuripan dan yang kedua adalah Gajah Mada. Firasatnya berkata bahwa perkataan Gajah Mada memiliki arti mendalam. Sebuah pesan yang berlainan, tetapi menjadi satu kesatuan. Ya, itu yang dinamakan kehidupan. Seperti siang dan malam, wreddha dan yuwana, serta ... hidup dan mati.

Sudewi menyibakkan selimutnya dengan hati-hati, agar Kusumawardhani tidak terbangun. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, lalu membuka pintu dengan meminimalisir bunyi deritan. Di sana, Keswari dan beberapa dayang lain masih terjaga. Mereka bergantian menjaga permaisuri dan putrinya. Sudewi mengisyaratkan Keswari untuk mendekat. Lalu membisikkan kalimat dengan nada rendah. Sang Parameswari memerintahkan dayang senior itu untuk menjaga Kusumawardhani. Keswari menggangguk patuh, mengunci mulutnya yang sebenarnya gatal untuk bertanya, tetapi urung dilakukan. Ia mengingat batasan antara abdi dan tuannya.

Setelah memastikan Keswari memasuki kamarnya, Sudewi berlalu, meninggalkan Kaputren dengan ditemani oleh prajurit. Ia mengeratkan sasampur yang dipakainya bukan sebagai penghias, tetapi penghangat. Ya, benda itu sekadar digunakan untuk menutupi punggung dan lengannya yang terbuka. Angin malam pun menjadi sungkan menyentuh kulit lembut sang Permaisuri. Gemerincing binggel yang dipakainya memecah kesunyian malam. Sudewi sedikit berlari, mengabaikan peraturan permaisuri yang mengharuskannya berjalan dengan anggun.

Sampailah Sudewi di tempat tujuan. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu melepaskannya dengan teratur. Sang Dewi mengesampingkan kenangan buruk yang terjadi di tempat itu. Ia menulikan telinga yang mendengar raungannya sendiri. Kepalan tangannya semakin kuat, tanda dirinya tengah berperang melawan memori. Sudewi menengadah, dilihatnya Keraton Wanguntur dengan segala kemegahan, pertanda bahwa bangunan itu merupakan tempat bernaung bagi sang Prabu penguasa Wilwatikta. Sudewi dapat merasakan dirinya di masa lalu yang membawa setumpuk daluang karena mendapat hukuman dari Maharaja Majapahit. Ah, kenangan-kenangan itu abadi, entah yang terekam baik ataupun buruk.

Prajurit Bhayangkara bersimpuh, lantas mempersilakan sang Permaisuri memasuki Keraton Wanguntur. Ah, Sudewi berdecak, dahulu dirinya dilarang memasuki tempat itu hingga harus berlari tunggang-langgang demi menghindari mereka. Saat ini, untuk sekadar bersitatap pun, prajurit-prajurit itu enggan. Mereka tahu, yang berada di hadapan mereka tak lain adalah ibu kerajaan. Melewati para paricaraka, mereka menunduk untuk memberi penghormatan bagi Sudewi.

Setelah melewati lorong yang dipenuhi oleh diya-diya terang, beruntunglah seseorang yang dicarinya tengah berada di ruangan tengah yang cukup besar. Pria tersebut ditemani oleh sida kepercayaannya—Ra Banyak—yang menyadari kehadiran sang Dewi. Namun, sayangnya Hayam Wuruk tak melepaskan diri dari tumpukan daluang dan lontar yang berada di hadapannya. Ra Banyak memutuskan untuk meninggalkan sang Maharaja, kemudian datang menemui Sudewi. Wanita itu berdiri kikuk. Tak ada sambutan apa pun, sehingga ia tak mengizinkan kakinya untuk terus bergerak masuk. Ia mematung di sudut ruangan, netranya tertuju pada sang suami.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARIWhere stories live. Discover now