15 | Lautan Teduh

613 68 62
                                    

Satu minggu berlalu, rombongan lawatan meninggalkan Kotalama Singasari menuju ke Kadatwan Trowulan. Tidak dengan tangan kosong, mereka membawa hasil buruan dan bahan pangan untuk dibagikan kepada rakyat. Sebelum itu, sang Maharaja memerintahkan pasukannya untuk melakukan perburuan sebagai hadiah bagi rakyat di kotaraja. Rombongan bergerak ke Utara, melewati berbagai desa dan hutan yang nampak asri. Mereka melewati daerah yang bernama Wedwawedan, lalu bermalam di sana. Kemudian kembali berangkat menuju Pandakan dan memutuskan untuk berkemah di Pandamayan. Sang Maharaja memerintahkan rombongannya berhenti di Jajawa untuk melakukan puja bhakti. Prajurit Bhayangkara dengan siap berjaga, mengawasi tindak tanduk orang-orang sekitar yang bisa saja membahayakan sang Prabu. Kejadian di Hutan Nandawa menjadi peringatan bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, termasuk orang-orang terdekat.

Candi Jajawa dibangun untuk menghormati leluhur Wilwatikta yang merupakan Raja Singasari terakhir, Prabu Kertanagara. Candi tersebut terletak di kaki Gunung Welirang. Bentuk candi bagian bawah merupakan perlambang Siwa, sedangkan bagian atas adalah Buddha. Hal tersebut dikarenakan Prabu Kertanagara memeluk dua agama. Di dalam candi terdapat arca Siwa dan arca Maha Aksobya yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Puja bhakti telah ditunaikan, sang Maharaja menapaki satu per satu anak tangga, menuju sang Parameswari yang menantinya di bawah. Lalu, dengan hati-hati, Sri Prabu menggendong istrinya menuju pedati yang akan dinaiki. Sudewi cukup terkejut dengan ulah suaminya. Tiba-tiba saja, kakinya tak menyentuh tanah. Ah, padahal lukanya sudah cukup membaik, mengapa pria itu bersikap seperti orang yang berbeda? Satu minggu di Keraton Singasari mereka habiskan bersama. Tak ayal, keduanya nampak seperti pengantin baru mengalahkan Nertaja dan Raden Sumana. Sorak-sorai dari rakyat pun menggema, mereka terpukau dengan keharmonisan raja dan permaisurinya.

Sampailah rombongan lawatan di perbatasan Kotaraja Trowulan pada dini hari. Rakyat berduyun-duyun menyambut rombongan yang baru saja pulang dari perjalanan panjang. Para Bhre dan petinggi istana berderet memanjang, seperti layaknya saat keberangkatan. Gemuruh gong ditabuh, menandakan pedati yang ditunggai sang Maharaja dan Parameswari Wilwatikta segera melewati rajamarga. Puja-puji terdengar di penjuru kotaraja, mereka menyambut kehadiran pemegang Surya Majapahit dengan tangis haru. Ah, raja mereka telah kembali, maka matahari akan bersinar terang esok hari. Prajurit membuka jalan yang telah dipenuhi oleh manusia. Lalu, berjalanlah kuda, kerbau, gajah, dan banteng. Kemudian lewatlah para abdi dalem yang membawa bahan dapur berupa lada, buah kepala, wijen, dan asam jawa. Tak lupa, mereka juga berbagai jenis unggas dipersembahkan untuk rakyat yang menanti. Setelah sang Maharaja memasuki Istana Trowulan, rakyat berangsur kembali ke kediaman masing-masing.

***

Kala terus bergulir, melahap siapa pun yang tak siap. Ia mengajarkan makna kehidupan pada setiap makhluk, termasuk mengikhlaskan yang lampau. Ya, siapa pun, termasuk sang Maharaja. Selama beberapa waktu setelah kepulangannya dari lawatan ke penjuru nagari, Hayam Wuruk termenung di kamarnya. Pikiran mengenai dalang dibalik penyerangannya masih menghantui. Beberapa saat yang lalu, seorang telik sandi yang merupakan bawahan Ra Kebo menyampaikan informasi penting. Hal tersebut berkenaan dengan alasan mengapa Ra Kebo tak kunjung menghadap sang Maharaja. Ah, begitu pelik urusan ini. Apabila hanya orang-orang tak memiliki kuasa yang mencoba menyakitinya, pastilah kasus ini dapat diusut dengan mudah. Lagipula dirinya adalah penguasa Wilwatikta yang memiliki mata di penjuru kerajaannya. Ah, memang licin sekali para bedebah itu. Saat nanti Hayam Wuruk bisa menangkapnya, disitulah ia akan menghukum mereka tanpa ampun.

"Salam, Gusti Prabu. Perkenalkan, hamba Panji Imba." Ya, ia adalah telik sandi sekaligus bawahan Ra Kebo yang sempat bertandang di tenda sang Maharaja saat lawatan tengah berlangsung.

Hayam Wuruk mengangguk. "Katakan," perintahnya langsung, tanpa tendeng aling-aling sekadar menjawab sapaan pria yang bersimpuh di depannya.

"Hamba izin melaporkan bahwa Ra Kebo dan Panji Gentala ditawan oleh pasukan yang tak dikenal di dalam Hutan Nandawa," tuturnya dengan penuh kehati-hatian.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang