26 | Kala Meredup

596 76 110
                                    

Tersiar kabar yang menghebohkan jagat semesta yang berwujud tembok-tembok kokoh dalam naungan sang Prabu bernama Kadatwan Trowulan. Orang-orang juga memanggilnya dengan sebutan Wilwatiktapura Majapahit. Sore tadi, persidangan di aula utama telah usai. Namun, kepergian terdakwa, baik yang dijatuhi tebusan pati atau mendapatkan kebebasan bersyarat menjadi bahan gunjingan terdengar semakin nyaring. Suara-suara sumbang masihlah memenuhi ruangan, walau sosok yang dituju telah berlalu. Sisa-sisa pembelaan kini berangsur sunyi. Teredam oleh desas-desus yang membahana. Oh, ingar-bingar ini tak akan usai meski Dhyaksa telah memberikan keputusan. Bagaikan api yang membakar hutan kala mongso ketigo, itulah yang terjadi di istana dari kerajaan termahsyur di penjuru Sweta Dwipa.

Terkadang, seseorang ingin terdengar lebih nyaring dengan cara membungkam yang lain.

Tentu saja, pihak yang dipermasalahan tak bisa berkutik. Suara mereka habis tertelan oleh prasangka. Membela? Sampai air liur mengering pun, tak akan ada yang sudi berbaik sangka. Ah, begitu kejamnya kehidupan istana yang mampu membinasakan apa saja, termasuk seorang permaisuri sekalipun. Gaduh menjalar di setiap sudut istana seperti debu yang menempel, begitu banyak hingga menusuk hidung.

Silih berganti, berita tentang hukuman yang dijatuhi kepada tiga terdakwa santer dibicarakan, bahkan oleh orang-orang yang tak terlibat langsung dalam persidangan. Kabar berhembus, tiada yang bisa menahannya, semakin laju mulut-mulut yang tak bertanggung jawab menyebar bagaikan segerombolan merpati.

"Gusti Parameswari ... apa yang telah ia perbuat?"

"Tebusan pati? Tidak ada seorang permaisuri yang tercatat dalam sejarah Majapahit dihukum mati, sedangkan suaminya adalah sosok raja yang berkuasa."

"Apakah ia benar-benar melakukan perbuatan sedeng?"

"Wajah ayunya mampu membuat siapa saja tertipu!"

"Oh, ternyata Bekel Adiwilaga dan Gusti Paduka Sori bersaudara!"

Orang-orang sibuk dengan asumsi-asumsi yang mereka ciptakan. Di antara ketiga terdakwa, ialah sang Permaisuri yang menjadi tokoh utamanya. Ia adalah istri penguasa Wilwatikta, seorang wanita raja dan ibu kerajaan. Siapa saja yang menapaki tanah Majapahit tidaklah asing dengan sosok Paduka Sori, seseorang yang dahulunya adalah Putri Wengker yang diboyong oleh Sri Prabu. Jangan tanyakan kuasa yang dimiliki wanita itu. Ia juga merupakan putri Raden Kudamerta, penguasa Nagari Wengker. Dengan segala kehormatan dan keagungan, bagaimana mungkin ia terjerumus dalam perbuatan yang hina?

Ya, meski tuntutan tebusan pati bukan karena perbuatan sedeng, tetapi kemurnian sang Parameswari terlanjur dipertanyakan. Mereka mengguggat, pantaskah wanita yang kesuciannya diragukan bersanding dengan raja mereka yang agung? Ah, orang-orang kini berperan layaknya rakyat Ayodhya —ibu kota Kerajaan Kosala yang dipimpin oleh Sri Rama— yang meragukan Dewi Sita. Kala itu, sang titisan Dewi Laksmi harus menjalani pengasingan di hutan, jauh dari suami dan kerajaannya. Tertutuplah mata hati mereka kala mengusir wanita yang tengah mengandung pewaris takhta hanya karena prasangka. Dewi Sita mengangguk patuh. Dalam tangisnya, ia berharap ibu bumi mendengar rintihannya. Dengan sari sederhana, ia melenggang pergi, meninggalkan kerajaan yang membuang harga dirinya sebagai wanita. Hal itulah yang juga menyulut kemarahan Prabu Janaka, ayahanda Dewi Sita sekaligus Raja Wideha.

Memang benar raja haruslah mendengar suara rakyatnya. Akan tetapi, apakah benar Hayam Wuruk melakukannya demi rakyat? Ego siapakah yang akan dipuaskan? Dengan menghukum mati Sudewi, apakah masalah akan selesai begitu saja? Jika menelisik lebih lanjut, persoalan ini bukanlah hal yang sederhana. Satu hari yang lalu, utusan dari Istana Trowulan mendatangi beberapa kerajaan vasal dengan tujuan memberitahu perihal persidangan. Saat ini, rombongan klan Daha-Wengker dalam perjalanan, mereka menuntut sang Prabu yang dengan mudahnya menghukum putri mereka. Sang Maharaja menggelar persidangan lebih cepat dari yang mereka duga. Membelah malam, rombongan itu bergerak ke Kotaraja Trowulan. Sangat cepat, mereka berpacu dengan waktu sebelum semuanya terlambat.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARIWhere stories live. Discover now