22 | Pahitnya Kebenaran

529 60 6
                                    

Kepala Sudewi terangguk. Bibir merah yang terpoles lati aruna itu sedikit memucat, tetapi tetap menampilkan senyuman tipis. Lantas, ia bergeser dan mempersilakan Ra Kebo berserta pasukannya masuk. Tidak, sang Dewi tak menganggap itu sebagai kelancangan. Bahkan ia meminta Keswari agar tak menghadang telik sandi itu. Biarlah, ia tahu konsekuensi yang akan menimpa dirinya. Perkataan Ra Kebo bukanlah permintaan belaka, pria itu telah menemukan kebenaran. Sungguh, Sudewi tak ingin mengecap manis di dalam kubangan dusta. Kini, hanyalah sang kala yang berhak memutuskan, sampai mana Sudewi sanggup bertahan. Entah mempertahankan gelar parameswari atau hidupnya sebagai seorang manusia.

"Lakukanlah, Ra Kebo." Sudewi mengatakannya di saat telik sandi Majapahit itu berjalan melewati dirinya. "Ungkaplah kebenaran, aku tak akan membela diri."

Pemeriksaan Kaputren tak lain dan tak bukan adalah bentuk halus dari penggeledahan. Seluruh penjuru kediaman permaisuri tak luput dari mata pasukan yang dipimpin oleh Ra Kebo. Saat ini, Sudewi dan seluruh paricaraka Kaputren berkumpul di pelataran. Mereka menunggu hasil, apakah terdapat penyusup yang bersemayam di sana. Dayang-dayang saling bergumam, berbisik dengan suara rendah. Bola mata mereka bergerak liar, mengikuti hulu-hilir orang-orang yang tengah berusaha menemukan bukti nyata. Ya, resah dan gelisah tercetak jelas pada raut wanita-wanita yang mengabdikan diri untuk kerajaan tersebut. Sungguh, mereka tak mengira jika terdapat sosok yang berkhianat. Ah, peluh-peluh pun berjatuhan. Siang yang terik diiringi dengan hati yang membara bukanlah sebuah hal yang mereka dambakan.

Sementara itu, sang Permaisuri nampak berbeda. Mimik wajahnya terlampau tenang. Berbanding terbalik ketika mendengar kabar suaminya yang berhasil menangkap para bedebah. Saat ini, tak ada kegundahan yang ditampilkan oleh pemilik paras ayu itu. Namun, helaan napas berkali-kali terdengar mengalun pelan. Tak bisa ditampik, di dalam lubuk hatinya, Sudewi juga menimang-nimang. Ia tidak bisa membohongi dirinya. Sudewi harus mempersiapkan diri, walau nanti hidupnya akan bermuara kepada kemungkinan terburuk sekalipun.

Huru-hara terjadi. Salah satu bawahan Ra Kebo berseru kencang, sehingga suaranya tertangkap jelas oleh orang-orang di luar sana. Ia berlari, seraya membawa sebuah kain. Dahi Ra Kebo berkerut heran. Lantas, ia membuka penutup kain tersebut. Nampaklah surat-surat yang jumlahnya amat banyak. Ra Kebo mengulurkan tangan, menggapai salah satu surat. Dengan seksama, ia membaca rentetan aksara yang tersusun rapi pada daluang. Kemudian, ia memberi kode kepada salah satu bawahannya untuk mendekatinya, kemudian memberikan sebuah kotak kayu. Ra Kebo membuka benda tersebut, mengambil surat di dalamnya kemudian membandingkan dengan surat yang berada di tangan kirinya.

Ra Kebo berjalan ke arah Sudewi. Pria itu menyerahkan kedua surat itu kepada sang Permaisuri. "Bukankah surat-surat ini saling terhubung, Gusti Paduka Sori?" tanyanya dengan hati-hati.

Sudewi mengangguk setuju. Ini kali kedua dirinya tak memberikan perlawanan. "Benar, Ra Kebo," sahutnya tanpa melihat isi daluang tersebut. Tak perlu, memang, karena ia yang menuliskannya. Sudewi dengan sadar telah bertukar surat tanpa izin dari suaminya.

"Tangkap wanita itu," perintah Ra Kebo dengan telunjuk yang mengarah kepada seseorang di belakang Sudewi.

Dengan cepat, Sudewi mengikuti arah pergerakan telik sandi di hadapannya. Matanya melebar. Sungguh, ia tak menyangka bahwa wanita yang dimaksud Ra Kebo adalah Rarasati. Lantas, dirinya melihat sekilas surat yang masih ia genggam. Tertoreh nama Rarasati di bawahnya. Tidak, Sudewi menggeleng keras. Napasnya tak beraturan. Belum sempat ia berucap, dua orang prajurit menahan sahabatnya. Sebelum wanita itu benar-benar ditarik ke luar dari Kaputren, senyuman hangat menghiasi bibirnya yang kering.

"Apa yang kau lakukan, Ra Kebo?" Nada bicara Sudewi meninggi. Ia menuntut penjelasan pada pria yang berambut hitam sebahu dengan ikatan berwarna merah putih di dahinya.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang