32 | Pendamping Raja

691 63 9
                                    

Penghujung bulan Srawana, tibalah masa Bhadra, bulan yang bertepatan dengan lawatan sang Prabu beberapa tahun silam mengelilingi timur Jawadwipa. Puja bhakti telah ditunaikan untuk menghormati para leluhur. Membangun kemaharajaan yang agung tidaklah mudah. Tiada cukup ribuan tetes air mata yang mengucur deras, bau anyir darah yang menggenang, dan gugurnya sanak saudara. Mengerti makna kehilangan, maka dilakukanlah penghormatan. Sraddha namanya.

Tak lain dan tak bukan adalah untuk mendiang Gayatri Rajapatni, ibu raja-raja tanah Jawa.

Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing. Juru masak mengurus perihal persembahan dan jamuan yang berupa makanan, pandai besi berbondong-bondong membuat pusaka, dan candala mengukir arca. Ada pula para pelukis yang menghias Siti Hinggil dan Witana dengan lukisan-lukisan indah mereka. Tak lupa para pujangga yang merangkai sajak-sajak untuk dilantukan sebagai bentuk pujian.

Tibalah upacara suci dimulai, orang-orang berbondong-bondong menuju Witana yang memiliki tiang berwarna merah. Bangunan tersebut menghadap ke arah aula utama yang di dalamnya terdapat singgasana dengan simbol Surya Majapahit raksasa. Sang Maharaja mengambil tempat sebelah barat bersama para raja dari kerajaan bawahan. Sementara permaisuri dan para istri raja duduk berseberangan. Tak lama, pendeta Buddha memasuki tempat tersebut, mereka berdiri dalam posisi melingkar. Sang Prabu bangkit, bergabung dengan para pendeta itu.

Upacara Sraddha untuk menghormati arwah Sri Rajapatni pun dimulai, sang Prabu memuja Buddha Sakti. Prosesi sakral itu dipimpin oleh Pendeta Stapaka. Bibir bergerak melantunkan puja dan puji untuk istri raja pertama Majapahit itu. Tak elak, nuansa magis menyelimuti balai yang biasanya digunakan sebagai tempat peraduan untuk raja dan rakyatnya. Di tengah-tengah kekhusyukkan, seorang mpu berjalan mengelilingi lingkaran dengan mengucapkan doa. Sungguh, betapa sucinya perayaan untuk seorang wanita yang menurunkan raja-raja Jawadwipa.

Malam hari, upacara dilanjutkan dengan melakukan pemujaan yang dipimpin oleh Dang Acarya. Menjelang pagi, diiringi agending, arca bunga yang diberi nama Prajnaparamita diletakkan di atas singgasana. Arca tersebut setinggi manusia biasa, perlambang penguasa yang sah. Akan tetapi, wanita itu melepaskan keinginan duniawinya dengan menjadi bhiksuni. Prajnaparamitha adalah sakti dari Buddha tertinggi dan merupakan dewi kebijaksanaan. Tak ayal, begitulah penggambaran yang pas untuk pendamping raja, yaitu Dyah Gayatri.

Seluruh anggota keluarga kerajaan, petinggi istana, dan semua abdi melakukan pemujaan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seluruh anggota keluarga kerajaan, petinggi istana, dan semua abdi melakukan pemujaan. Diawali Sri Prabu beserta permaisuri dan putrinya, kemudian dilanjutkan oleh Gajah Mada yang membawahi para patih. Semua orang menunduk hormat kepada istri Prabu Kertarajasa tersebut, tanpa terkecuali. Setelah itu, para raja pun memberikan persembahan. Singhawardhana yang bergelar Bhre Paguhan memulai terlebih dahulu dengan persembahan berupa makanan yang melimpah dan ditutupi oleh kain sutra. Kemudian, Rajasawardhana Bhre Matahun menyambung, memberikan persembahan yang tak kalah elok. Tibalah dua menantu Dyah Gayatri yang meminang putri-putrinya. Ialah Wijayarajasa Bhre Wengker dan Kertawardhana Bhre Tumapel. Persembahan mereka pun tak main-main jumlahnya. Terakhir adalah persembahan dari Sri Maharaja yang merupakan cucu pertama Gayatri Rajapatni.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARIWhere stories live. Discover now