38 | Tabir Rahasia

334 27 5
                                    

Terlihat dekat, tetapi sulit diraih. Itulah yang dirasakan oleh Sagara dan Rarasati ketika beberapa kali mendapati Adiwilaga bertandang ke Keraton Wengker. Tanpa sedikit pun rasa takut, pria itu dengan santainya berlalu lalang memasuki ruangan kerja Bhre Wengker. Tak ada yang mampu menegur putra sulung Kudamerta itu. Apalah abdi dalem dan paricaraka, mereka tak memiliki hak mencampuri urusan tuannya, apalagi menyangkut sang penguasa Wengker. Ah, sial betul posisi Rarasati yang hanya seorang dayang, apalagi ia merupakan dayang yang disingkirkan dari Istana Trowulan. Bukan tak ingin menghadapi Adiwilaga seorang diri, Rarasati justru memiliki niatan untuk memukul tengkuk pria tersebut kalau saja tak dihentikan oleh Sagara. Terlalu berbahaya, Sagara tahu bagaimana Adiwilaga mampu memainkan sebuah drama.

Beberapa waktu yang lalu, Sagara dan Rarasati berhasil mengirimkan surat kepada Arya Maheswara. Untunglah, Ambarawati bersedia untuk menjadi perantara. Untuk menyingkap tabir, dibutuhkan berbagai upaya, seperti saat mereka mengungkap polemik upeti yang lagi-lagi disebabkan oleh anak buah Adiwilaga. Jika ditilik lebih jauh, begitu dangkal Arya Bagus dan Arya Santani menggantungkan peruntungan mereka kepada Adiwilaga. Pun, mereka jugalah yang akan dikorbankan. Rarasati menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan para petinggi yang tak pernah lelah melepas dahaga. Padahal, Arya Bagus dan Arya Santani sudah hidup berkecukupan dengan menjabat sebagai wiyasa. Ah, akal bulus Adiwilaga memang ditujukan kepada mereka yang haus kuasa.

"Kau tidak bisa melakukannya sekarang, Rarasati." Sagara kembali menahan tangan Rarasati yang hendak melabrak Adiwilaga, bahkan mungkin menghajarnya.

Rarasati menoleh cepat, napasnya memburu dengan tatapan nyalang. "Jika ini kali pertama aku melihat Adiwilaga di keraton ini, maka kau bisa menyalahkanku," sentaknya dengan tetap berbisik, khawatir jikalau suaranya menggelegar.

Sagara bergeming. Ah, sudah kadung benci setengah mati, dayang itu tak akan berpikir dua kali untuk mengeluarkan bogeman mentah. Namun, tindakan sembrono Rarasati bisa menempatkan mereka di situasi sulit. Ya, bagaimana tidak? Sagara bukanlah penghuni Keraton Wengker. Keberadaannya di dalam keraton tak lain karena desakan Rarasati. Alhasil, Sagara menyamar menjadi salah satu abdi dalem. "Anggaplah kau berhasil melukai Adiwilaga, lantas apa yang akan kau lakukan setelahnya?" Alisnya menukik tajam, menanti jawaban dari lawan bicaranya. "Apakah Gusti Bhre akan membiarkan tindakanmu itu?"

"Paduka Bhre Wengker ...," bisik Rarasati amat pelan, bahkan hanya terlihat dari gerakan bibirnya. "Tidak mungkin ... kau benar, Sagara," ucapnya yang memilih meredam emosi daripada meledakannya langsung.

Sagara melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan dayang itu. Mereka melihat Adiwilaga yang memasuki ruangan kerja Bhre Wengker. Lagi-lagi, keduanya hanya bisa menahan dengan helaan napas kekecewaan. Arya Maheswara belum juga kembali. Pria itu adalah satu-satunya harapan yang Rarasati dan Sagara miliki. Karenanya, kehadiran sang tangan kanan Bhre Wengker itu amat mereka nantikan. Bahkan baik Sagara maupun Rarasati bergantian mengunjungi kediaman pria itu, tetapi hanya Ambarawati-lah yang menyambutnya dengan lesu. Rarasati dan Sagara berdiam cukup lama, tak berniat membuka percakapan kembali karena tatapan keduanya tertuju pada pintu kayu yang menjadi sekat antara ruangan pribadi Bhre Wengker dan pendopo agung.

Sandikala tiba, tetapi Adiwilaga tak kunjung menampakkan batang hidungnya kembali. Rarasati yang sudah kehilangan kesabaran pun beranjak. Melalui ekor matanya, ia melirik Sagara singkat. Tatapan keduanya menyiratkan ketidakberdayaan. Ah, itulah yang mereka benci. Namun, Rarasati memutusnya dan melangkahkan kakinya pergi. Ia tidak sudi hanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Seharusnya, surat yang dikirimkan Ambarawati sudah sampai di tempat Arya Maheswara berada. Mustahil sekali jika pria itu tak menerimanya. Mulut Rarasati tak henti-hentinya mengucapkan sumpah serapah. Tangannya mengepal hebat dengan hentakan kaki yang seakan mampu mengguncang bumi. Demi apa pun, ia membenci situasi saat ini.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARINơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ