11/12

186 22 1
                                    

"Berhenti."

Layaknya robot, seluruh anggota marching band mendadak berhenti bermain alat. Membuat lapangan sunyi seketika. Beberapa anak sekolah yang belum pulang karena ikut menonton latihan terheran-heran mengapa mereka tidak lanjut bermain.

Taufan mengulum bibir, entah kenapa sore ini kemampuan meniup terompetnya berkurang. Selama latihan, dia tidak bisa fokus melihat gerakan tangan field commander karena tatapan tajam pelatih. Bukan hanya itu, jari-jarinya juga suka salah menekan katup.

Ais melirik Taufan di depan yang bernapas tidak teratur. Bahunya naik turun. Dia hanya menatapnya kasihan, saat ini kondisi mood pelatih sangat buruk, jadi tidak berani memberi ucapan semangat walaupun jarak mereka hanya beda sebaris.

Pelatih menatap satu persatu wajah per section, lalu menaruh perhatian pada anak-anak brass.

"Brass line, mainkan lagu pertama."

Dengan aba-aba hitungan ketiga, lapangan kembali dipenuhi dengan suara terompet dan mellophone. Beberapa anak sekolah ada yang mendengar serius, merekam, dan menyemangati teman mereka yang akan menjadi pengiring pawai minggu depan.

Tiba ke penghujung lagu, field commander memberi tanda oke melalui jari telunjuk dan jempol yang disatukan juga tiga jari sisanya naik ke atas.

Pelatih berdecak.

Mampus.

Pelatih berjalan menuju anggota brass.

Ya Allah.

Kemudian pundak Taufan ditepuk. Membuat empunya berkeringat dingin. Ais yang melihat dari belakang menyembunyikan raut khawatirnya, berusaha tetap dalam posisi tegap dengan mellophone di tangan.

"Kamu kira kakak tadi nggak lihat kamu niup sedikit aja? Kenapa niup terompetnya lepas-lepas? Nggak kuat? Mau tampil kayak gitu?" suara pelatih terdengar kecewa. Taufan tidak berani menatap pelatihnya yang berada di sebelah, matanya lurus ke depan.

Ais mengira bakal ada sesi ceramah lainnya, namun perkiraannya salah ketika mendengar suara alarm kecil dari jam digital dari pelatih.

Pelatih memberi isyarat kepada field commander untuk membubarkan barisan tanda latihan selesai.

-

Taufan duduk menyendiri di pinggir sanggar. Kesal dengan diri sendiri karena tidak mampu memberi yang terbaik pas latihan tadi.

Ais yang baru turun dari ruang musik langsung berlari kecil menunju sanggar, menemani temannya, lalu duduk di sebelahnya.

"Minum dulu, fan," Ais mengulurkan sebuah botol minuman isotonik. Taufan menerimanya dengan lesu, tak lupa menggumamkan terimakasih.

"Udah taruh alat?"

Taufan mengangguk, "tadi aku minta nitip alat ke temen."

"Oh, baguslah. Kamu nggak apa-apa? Nggak mau nunggu di gerbang aja? Udah nelpon orang tua kamu belum? Atau mau aku antar? Udah mau Maghrib."

Taufan sedikit terkejut dengan beberapa pertanyaan yang dilontarkan Ais. Bukannya aneh, tapi jarang-jarang Ais ngomong banyak kayak gini. Dia tersenyum kecil, kawannya sedang berusaha menghibur.

"Ais, hehe, udah lama nggak denger kamu kayak gini," Taufan menggoyangkan kakinya yang menggantung lalu menyenggolnya dengan kaki Ais, "sering-sering dong."

Ais mendengus, "ya udah aku pulang duluan." disaat dia mulai berdiri untuk meninggalkan Taufan, tangannya ditarik.

"Eh jangan dong," Taufan manyun, "anterin aku sampai pulang ya?"

Ais memasang wajah jijik.

"Ga usah manyun gitu kayak cewek, ewh??"

"Jadi mau anterin aku nggak?"

"Ga jadi ish, sana pulang jalan kaki."

Taufan malah tertawa, perilaku Ais benar-benar mirip dengan Halilintar. Nggak heran kalau mereka berdua dekat. Padahal awal-awal jadi teman Ais itu sulit. Tipe-tipe orang penyendiri.

Bukan hanya itu, Taufan pernah mengira kalau Ais itu lebih parah dari Halilintar. Dulu dia pernah mikir kalau Ais itu arogan, sok bisa, dan sebagainya yang buat dia kesel minta ampun.

Tapi sekarang, dia bersyukur banget rasanya punya teman kayak Ais.

"Cepat jalannya, katanya mau ku anter??"

Taufan langsung tersadar dari lamunannya.

"BENTARRR."

Cerita Biasa (✓)Where stories live. Discover now