pengganggu ketenangan malam

149 19 5
                                    

Ada banyak yang terjadi saat malam. Entah itu bulan yang berusaha mengejar matahari, suara emas jangkrik mengiringi tiupan angin, lampu bangunan penyebab pudarnya cahaya bintang, dan Solar dengan mata yang masih terbuka penuh karena takut dengan hasil pendaftaran sekolah baru.

Anggap saja kalau sekarang kita lagi menjalani awal tahun di mana para murid berlomba-lomba mencari sekolah impian.

Oke oke, masalahnya: Solar memilih mendaftar di sekolah yang tidak difavoritkan oleh kebanyakan orang. Keputusan satu ini membuat banyak individu yang menyayangkan kemampuan Solar dalam menabung prestasi untuk sekolah bergengsi.

Termasuk ibunya.

Dari awal Solar tidak suka dengan cara ibu memaksa anak satu-satunya untuk masuk sekolah umum ternama se-provinsi. Sedangkan Solar ingin masuk madrasah, yang disarankan oleh guru ngajinya. Apalagi di situ ada kenalannya yang sudah menjadi (calon) abang kelas, ya, Halilintar dan Taufan.

Dengan berbagai cara Solar meyakinkan orang yang paling dia sayangi agar bisa masuk sekolah berbasis agama, yang katanya mau belajar Islam lebih jauh, mau mencari pengalaman baru, dan sebagainya.

Hingga akhirnya, ibunya setuju. Asal, jika tidak diterima di madrasah, maka selanjutnya Solar harus mendaftar di sekolah favorit pilihan ibu. Dan seharusnya kalian tahu betul, Solar tidak mau.

"Berdoa, Solar," Halilintar menenangkan sepupunya lewat panggilan telepon, "kalau keterima, bagus, kalau enggak berarti bukan rezeki."

"Aku tau, Kak, tapi aku memang mau banget sekolah ini. Aku lebih penasaran sama ilmu agama daripada dunia. Lagipula kalau di situ bakal jadi lebih untung kan? Bisa belajar dua-duanya lebih jauh, tapi kenapa ibu nggak mau... Kak..."

Halilintar merasa suara Solar semakin rendah setiap katanya, "Bukannya ibumu sudah setuju ya? Walaupun harus buat perjanjian dulu?"

Solar jadi ingat, ketika dia hampir berdebat dengan ibu hanya karena sekolah. Ekspresi ibunya sedikit kecewa, dan Solar tidak suka.

"Tapi ibu kayak kelihatan sedih pas itu," Solar baru melihat ekspresi ketidaksukaan ibu setelah sekian lama, "tapi, aku juga ngerasa kalau— akhir-akhir ini aku semakin dikekang sama ibu. Walaupun aku nggak mau mikir kayak gitu, t-tapi..."

"Solar," Halilintar memanggil namanya sekali lagi, kali ini lebih lembut, "kamu lagi bingung, tapi jangan takut sama keputusan yang tidak sama sekali merugikan orang lain. Ekspektasi tiap orang emang beban, tapi bukan berarti harus selalu dituruti supaya mereka seneng. Kalau mereka terus, kamu kapan, Solar?"

Solar terdiam.

"Kalau misalnya kamu keterima dan ibumu masih belum mau juga, nanti aku bawa ibuku. Gimana?"

"Kak," Solar menegur, "masa harus gitu.."

"Ibumu harus sadar, Solar. Yang kamu lakuin sekarang cuman mau ke sekolah agama. Bukannya main cewek."

"Kak!" tegur Solar sekali lagi, dia melihat pintu kamarnya, takut tiba-tiba terbuka dan ibunya mendengar ucapan Halilintar tadi.

Dari telepon, terdengar sebuah tawa kecil. Solar menebak kalau itu Taufan. Halilintar sangatlah tidak mungkin.

"Ya sudahlah. Kakak mau tidur. Wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Dan akhirnya, malam kembali tenang.

Cerita Biasa (✓)Where stories live. Discover now