Part 15 - Memulai Kedekatan ~ You Always In My Mind

55 33 100
                                    

.
.
.

Sebelum Rio akan benar-benar pergi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebelum Rio akan benar-benar pergi. Rio mendadak berhenti setelah berjalan lima langkah, kemudian berbalik menghampiri Aidhira.

"Sebelumnya terima kasih karena sudah merawatnya. Aku masih membutuhkannya sebagai saksi"

Ucapan Rio membuat Aidhira terkesiap. Selanjutnya pria itu merogoh saku dan menemukan dompet, lalu mengambil sebuah kartu di dalamnya. Kemudian tangannya terulur membawakan sesuatu.

"Ini kartu namaku. Simpanlah dan hubungi aku jika kau butuh sesuatu. Aku pergi. Sampai jumpa lagi, Dokter!" setelah berkata demikian, Rio langsung berpamitan dan bergegas pergi usai menyerahkan Id Card miliknya.

Ditempat itu masih tersisa Aidhira dan Edgar. Membuat Edgar berinisiatif untuk menyapa selagi tidak ada Rio.

"Nona Dokter!"

Aidhira menoleh dan mendapati Edgar yang tengah tersenyum kearahnya. Jadi Edgar-lah yang tadi memanggilnya? Tapi panggilan apa itu?

"Mengapa kau memanggilku dengan sebutan itu?" pertanyaan itu justru membuat Edgar terkekeh.

"Lalu aku harus memanggilmu apa?"

Aidhira hanya berkerut menanggapinya. Menurutnya panggilan dokter saja sudah cukup, kenapa harus ada penambahan sebutan nona?

"Oiya, soal kejadian waktu itu, aku mewakili temanku, minta maaf! Kami sungguh tidak tahu jika kau ini seorang dokter. Maaf karna sudah bersalah paham padamu dokter"

Perkataan Edgar membuat Aidhira teringat kejadian tadi malam yang membuatnya kembali merasa kesal. Tapi Ya sudahlah. Lupakan saja.

"Tidak apa-apa. Itu hal yang wajar. Aku paham kok. Selain itu, aku juga harus tetap profesional 'kan?" balas Aidhira seadanya dengan sedikit senyumannya memberi kesan ramah.

Senyuman Edgar seketika mengembang mendengar tanggapan Aidhira tersebut. Sesaat menjadikannya terpesona pada paras cantik Aidhira yang baru disadari jika dilihat dari jarak dekat seperti ini. Apalagi saat dilihatnya tersenyum tadi, semakin membuatnya lebih menawan. Mengapa semanis itu?

Selain cantik. Dia juga sangat baik ya ~  batin Edgar tanpa sadar.

"Kalau tidak salah ingat, kau ini yang bernama Edgar 'kan?"

Edgar tersadar dan langsung mengangguk bersemangat menjawab pertanyaan Aidhira itu.

"Betul, aku Edgar. Senang jika ternyata dokter masih mengingatnya. Selain itu, aku salut dengan pemikiran dokter. Dan, bersyukur bisa bertemu denganmu. Lain kali, jika butuh sesuatu hubungi saja aku. Aku pasti akan senang membantumu" kata Edgar sedikit menyanjungnya. Bahkan saat ini dirinya merasa sedikit gugup dihadapan Aidhira.

"Terima kasih atas tawaranmu" jawab Aidhira dengan sedikit tawaan kecil, tentu dengan sikap sopan meskipun dia tahu pria di hadapannya itu berusia lebih muda darinya.

"Karena dokter sudah tahu namaku, berarti tidak perlu perkenalan diri lagi 'kan? Tapi boleh tidak kita berjabat tangan? hehe" ujarnya sembari mengulurkan tangan usai mengusapkannya di celana yang dipakainya.

Aidhira tidak menanggapinya dan malah menyodorkan sebuah formulir yang sudah tercetak tulisan rapi di sana.

"Disini, ada beberapa yang perlu diisi, aku perlu data pasien yang kau jaga ini. Tadinya, aku bermaksud memberikan formulir ini pada Rio. Tapi sepertinya Rio memang tidak memiliki hubungan dengan pasien ini. Belum ada kepastian siapa keluarganya. Jadi, mohon bantuannya untuk memberikan ini pada keluarganya. Atau mungkin saja Rio tahu mengenai keluarga pasien ini?"

"Oh, baik, Dokter. Tidak masalah" jawab Edgar yang tanpa beban, malahan begitu bersemangat memberi bantuannya.

"Terima kasih. Namaku Aidhira"

"Ough,, dokter Aidhira"

"Hm. Kalau begitu, aku masuk periksa pasien dulu" ujar Aidhira seraya memberikan senyuman manis di akhirnya yang membuat Edgar berbinar hingga enggan berpaling menatapnya.

Pria itu turut terpesona dengan senyuman Aidhira. Dia seakan tersihir oleh pesona Aidhira yang luar biasa cantik itu. Setelah beberapa saat, Edgar pun mengusap wajahnya kasar setelah teringat kesadaran. Hampir lupa bahwa dirinya sudah ada yang punya.

***

Sementara, dua orang pria terlihat sedang terlibat pembicaraan serius di sebuah ruangan kantor polisi. Mereka berhenti sejenak ketika melihat Rio memasuki ruangan.

"Bagaimana hasilnya?"

"Hampir kehilangan, tapi beruntungnya, dia bisa selamat. Hanya saja, sedikit sulit untuk membuatnya berbicara"

Salah seorang pria yang duduk di meja kerjanya hanya mengangguk mendengar penuturan Rio.

"Awasi dia terus" katanya yang kemudian di jawab anggukan tegas oleh Rio.

"Tapi pria yang kita targetkan pagi ini ternyata sudah kabur" lanjutnya lagi memberi keterangan.

"Kabur pak?"

Rio sedikit terkejut mendengar laporan itu. Ada rasa cemas menggelayuti saat menerima kabar dari atasannya tersebut meskipun sebenarnya dia tidak terlalu tertarik pada kasus yang di tangani atasannya ini. Namun, yang membuat Rio keheranan adalah bagaimana bisa targetnya lolos semudah itu?

"Sanca sudah hampir menangkapnya, tetapi rupanya dia lebih cerdik saat tahu kedatangan kami"

"Lalu, apa yang harus kita lakukan, kapten?"

"Segera kita cari keberadaannya sebelum dia kabur semakin jauh dari wilayah kita"

Rio hanya mengangguk saja menanggapi ucapan sang atasan. Dia tidak tertarik untuk mengajukan diri menangani kasus itu kali ini. Pandangannya sedikit teralihkan ke bawah, berharap atasannya tidak memberikan tugas itu kepadanya.

"Rio, aku serahkan tugas ini padamu"

Sial. Rio langsung tertunduk lesu dan merasa jengkel begitu perintah itu terlontar dari sang atasan yang dianggapnya tidak benar

"Kapten saya masih menangani kasus lain. Ini mengenai wanita yang ada di rumah sakit itu—"

"Tidak perlu memikirkan kasus itu untuk saat ini! Pikirkan target yang kabur. Lagi pula, status wanita itu hanya sebagai saksi 'kan?" sergah sang atasan memotong ucapan Rio.

Rio sangat ingin kembali berkomentar dan menyanggahnya, tapi...

"Baik, pak!" jawab Rio usai terdiam beberapa saat. Dia harus tetap menerima perintah ini dengan lapang dada.

***

Rio bersama dengan anggota tim yang di pimpinnya terlihat sudah tiba di sebuah bangunan pabrik kosong yang terbengkalai. Meski demikian, dari pengamatannya, bangunan itu tampaknya sudah dihuni beberapa orang.

Rio mengendap-endap ketika hendak memasuki bangunan tersebut. Dia sudah menyelidiki dengan bantuan CCTV juga keterangan saksi, hingga mengumpulkan berbagai informasi penting yang disembunyikan warga setempat dalam bangunan tersebut.

Kini, Rio dan timnya sudah berada di posisi masing-masing sesuai dengan instruksi dan rencana penyergapan yang telah disusun dengan matang sebelumnya.

Mata Rio menangkap sebuah lubang kecil pada pintu kayu tempatnya menyembunyikan diri. Lewat lubang itu, dia bisa leluasa mengintip keadaan dan mendengarkan sebuah percakapan seseorang menghuni di dalam bangunan itu.

***

TO BE CONTINUED

You Always In My Mind ~||^ (TERBIT)Where stories live. Discover now