2

83 9 12
                                    

Karena janjinya pada Abizar siang tadi membuat Nyala kini berada di balik pintu kediaman keluarga Abiwara. Rumah besar dengan pilar besar serta beberapa mobil yang terparkir di carport  membuktikan bahwa penghuni rumah itu bukan orang-orang biasa seperti dirinya.

"Loh, ada Nyala. Ayo, ayo masuk Neng." ajak Bu Marsha dengan ramah seperti biasa.

"Nyala bentaran aja Bu, cuma mau nitipin ini buat Abizar,"
seraya tersenyum manis Nyala mengangkat rantang bersusun 3 yang ia pegang.

"Ma—ma," jawab wanita paru baya itu dengan mengeja.
"Panggil Mama bukan Ibu."
Nyala hanya tersenyum sungkan.

Setiap kali Abizar membantunya menyelsaikan masalah maka Nyala akan datang dengan membawa makanan sebagai tanda terima kasih lambat laun hal itu menjadi kebiasaan untuknya.

"Masuk aja yok, di dalam rame loh. Lagi pada ngumpul," ajak wanita cantik berwajah khas sunda namun bergaya korea itu.

Mungkin usianya sudah  tidak muda lagi, tapi wajahnya masih terlihat muda nyaris tidak ada kerutan diwajah putih bersih itu.

"Enggak Ma, Nyala pulang aja." penolakan Nyala tidak membuat Mama Marsha menyerah ia justru menyeret Nyala hingga berada di ruang tengah rumah besar itu.

"Chagia, ada Nyala nih!" suara  Mama membuat orang-orang  yang sedang nonton pertandingan sepak bola itu seketika menoleh.

Jantung Nyala seolah berhenti berdetak ketika pandangannya dan Barra  bertemu. Senang becampur terkejut dan bingung tengah Nyala rasakan saat ini.
Tapi seperti biasa Barra  hanya menatapnya sebentar lalu mengacuhkannya begitu saja.

Nyala memaklumi itu, karena sejak kejadian di danau 9 tahun lalu hubungannya dengan Barra mengalami banyak perubahan. Terlihat sangat jelas jika Barra menjauhinya dan mungkin tidak menyukainya tapi rasa cinta Nyala begitu besar sehingga ia mengabaikan perasaan tidak dipedulikan itu.

Mereka bilang rasanya itu hanya sebuah obsesi, itu bukan cinta.
Nyala sendiri tidak memperdulikan pendapat orang sekitarnya, yang Nyala tahu bahwa ia sangat menginginkan Barra membalas cintanya, hal itu menjadikan Nyala sedikit egois.

Nyala percaya bahwa ia hanya sedang berjuang untuk lebih bahagia dan tidak masalah menjadi egois.

"Mama tinggal ya sayang, Papa sendirian di lantai atas."

"Iya Ma. Terima kasih." Nyala tersenyum dan menatap kepergian wanita paru baya itu.

Sedangkan Abizar memperhatikan sejenak wajah Nyala sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya meninggalkan empat temannya untuk menghampiri Nyala.

"Masak apa?" pertanyaan Abizar mampu membuat Barra mengalihkan pandangannya dari layar besar yang sedang menampilkan pertandingan bola itu.

"Kesukaan kamu." rantang bersusun itu sudah pindah ke tangan Abizar.
"Aku pulang ya,"
namun saat akan beranjak Abizar justru meraih tangan Nyala dan menuntunnya mengikuti hingga duduk di meja makan yang masih satu ruangan dengan ruang tivi.

Barra mengacuhkan keberadaan Nyala ia memilih fokus pada layar di depannya.

"Golll!" sorak mereka saat satu tendangan pinalti berhasil masuk. Namun, berbeda dari ketiga temannya itu, Barra tidak terlihat bahagia dan antusias seperti mereka.

Barra  menoleh melihat ke belakang sejenak sebelum akhirnya ia kembali menatap layar televisi.
Ia meremas kesepuluh jarinya setelah melihat Abizar begitu menikmati makanan yang Nyala sajikan pada piringnya.

"Mereka gak sekalian diajak makan?" tanya Nyala.

"Mereka udah makan tadi."

"Ooo ..." Nyala mengangguk kecil.

Salam TerindahWhere stories live. Discover now