9

46 7 1
                                    


Suara sirene ambulance  memecah kepadatan jalan Ibu Kota
Nyala ditemani Abizar duduk di samping jenazah  Ibok.

Hening.
Nyala terus saja diam seribu bahasa dengan terus memandangi wajah Ibok yang terpejam dan pucat pasih terbungkus kain kafan serta terdapat kapas pada kedua lobang hidung Ibok.

               Meskipun begitu tidak ada satu butirpun air mata yang jatuh dari kedua kelopak mata Nyala. Abizar sempat berpikir bahwa Nyala gadis kuat yang tidak pernah menangis ataupun mengeluh meskipun beban yang ia tanggung sangat berat Nyala selalu mengatakan dirinya baik-baik saja.


Tapi, setelah perkataan Barra beberapa waktu lalu telah mengubah sudut pandang Abizar terhadap Nyala. Cewek itu ternyata menyembunyikan kerapuhannya.

Sakit.
       Abizar merasakan sesak yang menyiksa ia pikir selama ini sudah mengenal Nyala. Tapi, ternyata tidak.

Gadis berbadan mungil dengan kapasitas otak yang rendah itu menyimpan banyak kesedihan hingga air matanya membatu lalu ia gunakan sebagai benteng persembunyiannya.


Sejauh apa Barra memahami Nyala?
Jika seperti ini pantaskah Nyala menggilai Barra?



Abizar memindai tubuh Nyala yang duduk tertunduk di samping jenazah Ibok, gadis itu masih memakai pakaian yang sama sejak dua hari yang lalu rambut yang biasa terkucir rapih pun kini nampak tergerai dan kusut.



Abizar tersenyum tipis dalam benaknya ingin sekali berkomentar pedas tapi ia tahu sekarang bukan saatnya untuk mengeritik penampilan ambrul adul Nyala.


"Aku bisa melihat senyum meledekmu itu Bi."


Tentu saja ucapan Nyala membuat Abizar speechless tidak menyangka gadis jelek itu justru berkomentar tentang senyuman yang ia sembunyikan.

"Dari tadi kek,"

"Apanya?"

"Ngomong!"

"Gak ada bahan,"

"Terus lu terinspirasi dari senyuman gue?"

"Hem ...."

"Psikopet Lu," gumam Abizar ia hanya tidak ingin memperpanjang perdebatan mengingat situasi Nyala saat ini. Tapi, setidaknya Abizar bisa sedikit lega karena Nyala masih bisa bicara meskipun tidak terlihat akan menangis.

"Lu gak mau nangis?"

Tidak ada jawaban dari pertanyaan Abizar itu.

"Kalo mau nangis bahu mamas bisa buat sandaran kok." sambung Abizar dengan menyentuh bahunya.


Nyala mengangkat wajah sayunya dan mendelik tajam  membuat Abizar bergidik ngeri.

                Mobil ambulance tiba di rumah duka yang sudah terdapat bendera kuning terpasang pads pagar rumah.
Nyala sendiri tidak tahu kapan mereka mendirikan tenda untuk para pelayat yang kini duduk memenuhi pekarangan rumah agar tidak kepanasan.


                        Abizar bersama tiga pria     pelayat membantu menurunkan keranda jenazah Ibok dari dalam ambulance mereka membawanya masuk ke dalam rumah untuk segera disholati bersama-sama karena untuk urusan pemandian jenazah sudah dilakukan oleh pihak rumah sakit.



  Sebagian dari warga masih memandang rendah pada Alharhum Ibok sehingga hanya beberapa saja yang melayat bahkan tidak ada satupun temen sekolahnya yang datang setidaknya untuk mewakili pihak sekolah.
Namun, Nyala tidak pedulikan hal itu, karena saat ini mengurus pemakaman Ibok dengan baik jauh lebih penting baginya.



Salam TerindahNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ