Bagian 8

20.7K 1.7K 21
                                    

Sakti terlihat sedang berbincang serius dengan seorang pria tua—yang di tangannya menggenggam topi bundar terbuat dari anyaman bambu yang biasanya di pakai para petani—di area pinggir sawah.

"Iya A, saya bingung mau pinjam sama siapa lagi." Ucap laki-laki paruh baya itu.

Sakti menghembuskan napasnya pelan. "Bukannya saya tidak ingin membantu Bah Uus, tapi sekarang saya juga mau nanam beberapa bibit baru di ladang jadi saya butuh biaya banyak."

Bah Uus menampilkan raut sedih. Anaknya yang terakhir ngotot ingin menikah sedangkan Bah Uus sama sekali tidak punya pegangan uang sama sekali. Jadi langkah terakhir yang dilakukan Bah Uus adalah menemui Sakti untuk meminjam uang meskipun Bah Uus sangat merasa malu dikarenakan hutang sebelumnya saja Bah Uus belum bisa membayarnya dan kini sudah hendak meminjam lagi.

"Kalau begitu saya mau gadai sawah saya sama A Sakti, bagaimana?" Tawar Bah Uus.

Sakti menatap Bah Uus cukup perihatin, pasalnya anak-anak Bah Uus selalu saja menyusahkan pria tua yang seharusnya sudah bisa menikmati usia tuanya tapi masih saja mengurusi anak-anaknya yang selalu bertingkah. Apalagi kemarin-kemarin salah satu anak lelakinya terlibat tautan antar kampung yang mengakibatkan luka yang cukup parah dan harus di tangani rumah sakit besar, dan Bah Uus datang padanya untuk meminjam uang untuk biaya pengobatan.

"Saya memang sedang tidak pegang uang banyak Bah, kemarin saya habis panen di beberapa tempat tapi uang hasil panen belum sepenuhnya ada di tangan saya. Jadi mohon maaf sekali saya tidak bisa membantu."

Bah Uus akhirnya menganggukan kepalanya tidak bisa memaksa. Sakti menipiskan bibirnya mencoba mencari solusi lain. "Biar saya nanti coba tanya-tanya tetangga saya siapa tahu ada yang minat menggadai sawah punya Bah Uus."

"Iya boleh A, nanti kalau ada tolong kabarin saya ya."

Sakti mengangguk sebelum kemudian pamit hendak melanjutkan pekerjaannya. Sawah yang membentang luas di depannya ini sebagian besar adalah milik Sakti dan Abahnya. Lalu ketika ada yang berniat menggadai ataupun menjual padanya Sakti selalu mempertimbangkannya dengan matang, teringat akan nasihat Abahnya yang tidak mengizinkan Sakti menjadi orang yang serakah dengan memiliki hampir semua petak pesawahan yang ada di sini.

Sakti berjalan menuju jalan desa dan menemukan Romi dan Alan sedang berdiri di sana seolah memang sedang menunggu kedatangannya. "Lagi apa kalian?"

"Ini tadi si Alan nanyain A Sakti, terus Romi anterin kesini aja soalnya tadi liat A sakti ada di sini." Sakti mendengarkan ucapan Romi lalu beralih pada Alan.

"Ada apa nyari Aa Lan?" Alan melirik Romi sejenak lalu kembali menatap Sakti.

"Teh Kiran—" Jantung Sakti langsung bergemuruh ketika nama Kiran terucap dari bibir Alan. Ada apalagi dengan perempuan itu? Apa sesuatu yang buruk menimpanya?

"—mau ikut Aa ke pasar gede katanya." Ucapan Alan sontak membuat kening Sakti dan Romi berkerut.

"Ngapain?" Tanya Romi mewakili kebingungan Sakti.

Alan mengedikan bahunya. "Mau tarik tunai katanya, ngambil uang di bank kayak Ibu ngambil uang dari pemerintah itu loh buat biaya sekolah." Jelas Alan yang membuat Romi mendelikkan matanya. "Ya tahu atuh tarik tunai emang ngambil duit dari bank."

"Yakan siapa tahu A Romi nggak tahu." Cibir Alan.

"Yaudah nanti Aa tanyain lagi sama eum... Teh Kiran kalau emang mau ikut ke pasar gede." Sakti sedikit ragu dan salah tingkah saat hendak menyebut nama Kiran yang Sakti tak mengerti mengapa bisa seperti itu.

Kedua alis Alan naik. "Kok Teteh sih panggilnya. Teh Kiran umurnya lebih muda dari A Sakti setahu Alan mah. Panggil Neng Kiran aja, yakan A Romi?"

"Atau Dek Kiran." Timpal Romi sambil menatap Sakti penuh godaan. Sakti berdecak saat kedua laki-laki muda di depannya seolah tengah meledekinya tetapi tak bisa Sakti cegah dirinya seolah merasa malu dengan ledekan keduanya.

Bertemu Denganmu [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang