12. Kontrak backstreet

6 2 0
                                    

HAPPY READING! 

Jantung Ina berdetak kencang bukan karena dia ketahuan mencuri uang dan disidang oleh polisi, namun dirinya merasakan ardenaline yang sama seperti itu. 

"Dazaina." Mendengar namanya disebut membuat bulu kuduknya merinding seketika. Ina belum mau mati muda rasanya jantungnya hampir meloncat keluar saat mendengar suara manager Drana yang tampak garang. 

"Lo nakut-nakutin Ina." Drana memprotes sembari mengenggam tangan Ina yang tampak berwajah pias dan pucat. 

Ardan menghela napas dan menatap pasangan tersebut, "Gue enggak gigit. Santai aja. Gue cuma mau lo tanda tangan perjanjian ini. Bisa dibaca," ujar Ardan menyodorkan kertas yang berisi tentang perjanjian membuat Drana ikut melihat isi kertas tersebut. 

"Pacaran sama gue perlu perjanjian? Lo enggak mau buat perjanjian itu buat gue aja? Karena dari yang nomor satu aja gue yakin gue yang bakal ngelanggar bukan Ina." Drana menatap managernya tidak suka. Ina diam tidak merespon dirinya larut dalam kertas putih tersebut. 

"Gue pengen lo profesional. Lagipula memang lo mau karir lo hancur karena netizen tahu lo punya pacar ?" tanya pria berkacamata itu dengan kesal. Dirinya sudah mati-matian agar karir Drana tetap di atas malah artisnya yang mau merusak karirnya sendiri. 

"Kalau udah waktunya. Gue mau hidup biasa aja sama Ina. Gue keluar dari dunia artis ini. Bisa, kan? Kalau itu kemauan gue memang lo bisa apa?" tanya Drana dengan nada menyebalkan dan terkesan nyolot. 

Ina memegang tangan pacarnya membuat Drana menoleh ke arah Ina. Perempuan cantik itu mengelengkan kepalanya perlahan. "Aku juga enggak mau karir kamu hancur. Ardan juga udah baik. Dia mau buatin jadwal buat kita ketemu. Menurut aku itu cukup," ujar Ina sembari menampilkan senyumnya membuat Ardan tersenyum puas dengan jawaban Ina. 

"Pacar lo ngomong apa denger, kan? Nurut." Ardan berbicara dengan penuh kemenangan. 

"Tapi, Ina. Bucket list nya-" ucapan Drana terpotong dengan tatapan Ina yang membuat Drana terdiam. 

"Saya tandatangani." Drana merebut kertas tersebut dan melipatnya tidak membiarkan Ina untuk menandatangi suatu hal yang menurutnya tidak perlu. 

"Gue punya cara tersendiri tanpa mengorbankan karir gue dan Ina sebagai pacar gue. Hidup gue cuma sekali dan gue mau menjalani hidup gue sama Ina. Jadi, persyaratan yang lo kasih di kontrak ini gue enggak setuju." Drana marah tidak suka dengan kondisi sekarang. 

Drana mulai membaca kontrak tersebut dengan sedikit emosi. "Tidak boleh saling bertemu tanpa sepengetahuan manager Drana. Gue pacarannya sama Ina doang, kenapa lo jadi yang pengen nge-date mulu bareng gue?" tanya Drana kesal. Ardan menatapnya dengan melipat kedua tangannya dengan santai. 

"Drana, udah, ya." Ina tidak tahu harus berbuat apa. Baru kali ini dirinya melihat Drana yang tampak galak dan emosian. Biasanya laki-laki itu yang paling tahu tempat dan bersikap sopan serta tidak aneh-aneh. 

"Gue tipe orang yang selalu pakai kontrak buat ada bukti yang nantinya kalau ada masalah bisa dibawa ke jalur hukum. Jadi, karena gue buat kontrak ini antara gue dan Ina. Keputusan ada di Ina." Ardan berdiri dan mempersilahkan Ina untuk berbicara. 

"Saya akan tanda tangan." Drana dengan wajah tidak setuju menatap pacarnya. Ina tersenyum kemudian mengambil kertas yang ada di tangan pacarnya. 

Ardan tersenyum puas. Dirinya senang dengan keberadaan Ina yang tidak aneh-aneh seperti artis yang dia urus ini. "Kalau Ina ngelanggar kontraknya gimana?" tanya Drana menatap kertas putih yang sudah kembali ke tangan sang manager. 

"Kalau lo gue pecat kontraknya otomatis hangus ?" tanya Drana dengan sungguh-sungguh. Memang anak ini sangat tempramental untuk masalah Ina. 

Ina yang mendengar itu melotot tidak percaya. "Kontrak ini bisa hangus kalau kakek Adiwiyata yang menghapusnya," ujar Ardan penuh kemenangan membuat Drana mengepalkan tangannya begitu mendengar nama kakeknya. 

"Perlu diketahui juga, Drana. Gue enggak bakal bisa lo pecat kalau kakek enggak setuju." Ardan tersenyum kemudian menyimpan kontraknya dengan perlahan takut terlipat dan sebagainya.

*** 

Ina hanya diam. Dirinya tidak terlalu paham tentang permasalahan ini. Pertemuan dia dengan Drana dulu juga hanya sebatas teman di salah satu kursus menggambar. Ina yang saat itu sudah kursus selama sebulan dan Drana yang tiba-tiba datang sebagai peserta baru di sana. Sudah beberapa tahun yang lalu rasanya, entah Ina tidak ingat sama sekali yang dia ingat laki-laki yang kini menjadi pacarnya itu anak yang tampak diam dan tidak mau berkomunikasi dengan siapapun entah kenapa saat itu dia masuk ke kelas gambar, dulu wajahnya penuh dengan lebam di tangan dan entah kerasukan apa Ina jadi memberikan es batu saat istirahat kursus dia meminta kepada penjual es di sana. 

"Buat apa?" tanya Drana SMA sembari menatap Ina untuk pertama kalinya. Perempuan dengan rambut yang dikepang tersenyum. 

"Tangan lo luka, dikompres coba biar lebamnya mereda. Nanti makin parah, loh." Mendengar itu Drana menutupi area tangannya dengan tangan satunya. Tidak menerima es batu tersebut dan malah memalingkan wajahnya. 

"Dipake dulu. Lagi pula gue heran, deh. Lo ikut kursus gambar tapi, gue enggak pernah lihat lo gambar apapun. Mau sedekah sama tempat kursusnya, kah?" tanya Ina menatap Drana yang masih memalingkan mukanya. 

"Gue enggak bisa gambar dan gue sebenernya enggak mau di sini." Drana berkomentar membuat Ina menaikkan alisnya. 

"Kursus ini mahal, loh. Gue aja sampe mohon-mohon ke orang tua gue supaya bisa belajar gambar di sini. Rencana mau jadi seniman," ujar Ina malah nyerocos tidak beraturan. Drana merebut es batu tersebut dan menempelkannya ke bagian lebam yang tadi di lihat oleh Ina. 

Makin hari Drana sudah mulai berbicara dengan Ina sampai akhirnya Drana menyerahkan sebuah kanvas yang dia tutup oleh kertas kado di sana. Ina yang baru sampai di tempat kursus melukis agak terkejut melihat tingkah laku Drana. 

"Tumben banget datengnya awal, Dran." Ina kemudian menatap Drana yang masih menyerahkan kanvas tersebut. 

"Buat gue?" tanya Ina dengan hati-hati setelah melihat anggukan kepala Drana. Ina mengambilnya dan tersenyum. 

"Itu karya pertama gue. Gue harap lo mau nerima, ya." Drana berujar dengan suara pelan membuat Ina yang mendapat kado menatap tidak menyangka bahwa itu merupakan hasil karya lukisan pertama dari Drana. 

Ina mendekap kanvas yang masih terbungkus rapi dengan kertas kado yang menutupinya. Sangat suka dengan hadiah pertamanya. "Gue juga punya hadiah buat lo." Ina meletakkan hadiahnya di lantai dengan perlahan kemudian mengeluarkan buku gambar miliknya. 

Sebuah sketsa hitam putih terpampang di sana dengan wajah Drana yang tampak menggemaskan dengan tipe coretan Ina. "Muka lo. Sebenernya gue mau ngasih ini waktu udah gue coloring. Tapi, gue lupa kalau berwarna nanti jadi jelek."

"Terima kasih. Ina." Drana tersenyum sembari menerima hadiahnya. 

Ina terkejut, "Baru kali ini lo manggil nama gue, gila gila. Lo harus sering manggil nama gue, sih." Ina jingkrak-jingkrak senang membuat Drana hanya menatap perempuan itu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi. 

***

17 November 2023 


My Backstreet Boyfriend Kejebak di TVWhere stories live. Discover now