13. Drana dan masa lalunya

7 2 0
                                    

HAPPY READING! 

Kegelapan sebuah ruangan yang cukup luas selalu menemani Drana. Walaupun dirinya memilih untuk bersembunyi di lemari saat suara langkah kaki yang besar yang mendatangi kamarnya. Hari ini Drana tidak mau dipukul lagi dirinya yakin gurunya sudah melaporkan tingkah lakunya itu. 

"Kemana anak itu?" tanya suara yang sangat anak kecil tersebut kenali. Suara yang membuat alasan dirinya bersembunyi di lemari sekarang ini. 

"Den Drana daritadi berada di kamar, Tuan. Sama sekali tidak keluar kamar." bibi yang menjaga rumah itu menjawab pertanyaan tuannya dengan agak takut. 

Suara teriakan membuat seluruh orang yang ada di dalam ruangan tersebut terkejut karena nadanya yang marah. 

"Drana! Kalau sampai kamu tidak keluar. Kamu tau, kan apa akibatnya kalau sampai saya yang menemukan kamu?" suara itu sampai di pendengaran anak kecil dengan kaos lengan pendek berwarna biru tua dengan banyak luka lebam yang belum sembuh di sana. 

Anak kecil itu tidak keluar dari tempat persembunyiannya. Terlalu takut untuk melihat monster tersebut. Suara langkah kaki mendekat bahkan suasananya sangat menegangkan sampai detak jantung anak kecil itu bisa terdengar saking kerasnya. 

"Ketemu. Keluar kamu." Telinga anak kecil tersebut ditarik untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Anak kecil itu sudah menangis tersedu-sedu karena luka lebamnya yang belum sembuh- sembuh bergesekan dengan lemari yang menjadi tempat persembunyiannya. 

Anak kecil itu dilempar di lantai dan pria tua yang tadi menemukan anak itu memerintahkan pekerjanya untuk membawakan alat yang biasanya digunakan untuk membuat lebam yang ada di tangan sang anak. 

"Lain kali, bersembunyilah yang benar, Drana." Pukulan di sana dilontarkan dengan keras membuat anak kecil itu berteriak dengan kencang saking sakitnya. 

Lengan Drana rasanya mau patah dirinya sudah memberontak minta dilepaskan. Rasanya tulang yang ada di sana sudah remuk redam karena tingkah sang kakek. 

"Berhenti mempermalukan saya. Kamu tahu Drana kamu bisa meminta orang di sini untuk memberi barang yang kamu inginkan. Jadi, berhentilah bermain dan merebut mainan temanmu di sana." Sang kakek memegang wajah Drana sembari berbicara dengan suara keras membuat anak laki-laki itu memejamkan matanya saking takutnya. Lengannya sudah mati rasa, dirinya hanya bisa menangis dan terus menangis. 

"Paham?" tanyanya dan dijawab Drana dengan menganggukkan kepalanya dengan keras berharap kakeknya berhenti untuk menekan lebam yang sudah ada dan berhenti juga untuk menambahkan luka. Sang kakek akhirnya melepaskan cengkeramannya dan Drana yang sudah kesakitan hanya merintih dan memegang area yang rasanya sudah tidak karuan. 

"Panggil dokter. Minta obati dia saja. Urus yang benar." Sang kakek yang melihatnya tidak ada rasa iba sama sekali. Dirinya bahkan tidak memedulikan Drana. Dirinya pergi dari ruangan tersebut dengan langkah pasti tanpa rasa iba. 

Perusahaannya lebih penting, tidak ada yang boleh mengganggunya walaupun cucunya sekalipun. Kalau sampai Drana berulah itu akan menyebabkan nilai perusahaannya menurun. Seharusnya dia tidak membuka konferensi pers yang menyatakan bahwa Drana adalah cucunya. Sekarang semua tingkah laku anak itu tampak membahayakan perusahaan, sang kakek sangat kecewa karena mengakuinya sebagai cucunya. 

***

Anak kecil itu tidak berhenti menangis sampai tiga hari karena lengannya di gips pada salah satunya dan lengan satunya diperban karena mengeluarkan banyak darah. Karyawan di sana hanya melihat Drana dengan iba tidak bisa berbuat apapun karena keluarga mereka juga butuh makan. 

"Makan dulu, yuk Den. Bibi udah masakin ayam telur asin sama nasi anget." Sang bibi mencoba membujuk cucu dari orang kaya itu. Drana menggelengkan kepalanya kuat-kuat tangannya sangat sakit dan dirinya tidak ingin melakukan apapun. 

"Sakit, Bi." Drana berbicara dengan lirih membuat sang bibi hanya bisa menatap anak itu dengan kasian. Kalau saja kedua orang tuanya tidak meninggal saat kecelakaan mobil mungkin Drana tidak hidup dalam rumah besar yang kosong ini. 

"Biar enggak sakit. Tulangnya perlu nutrisi juga. Kalau makan nanti bisa cepet sembuh," ujar bibinya membujuk Drana yang sudah menangis lagi karena lengan yang terdapat lebam tidak sengaja bergesekan dengan kursi yang dia duduki. 

"Aden juga jangan berantem lagi sama temennya. Bibi enggak sanggup juga lihat aden sakit kayak gini," ujar bibinya kemudian meletakkan selimut di area lengan Drana agar tidak begitu sakit. 

"Drana enggak berantem. Drana cuma mau main aja, Bi sama Ronal tapi, dia jahat enggak mau temenan sama Drana bahkan pinjem mainannya aja enggak boleh. Padahal, kan dia bisa bilang baik-baik kalau enggak mau temenan biar Drana enggak dipukuli sama kakek lagi," ujar Drana memberikan penjelasan tentang masalah yang menimpanya. 

Semenjak itu, Drana tidak bergaul dengan siapapun lagi. Guru nya yang datang ke rumah dan mengajarinya tidak ada teman ataupun seseorang yang seumurannya untuk diajak bicara. Drana benar-benar sendirian di rumah mewah tersebut, sekarang rumah itu terasa seperti sangkar yang mempejarakan Drana selama beberapa tahun. 

Baru saat SMA Drana diperbolehkan oleh sang kakek untuk bersekolah di tempat yang biasa. Drana yang sudah remaja juga sudah terbiasa diam dan hanya melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa berbaur kepada sesama. Dia takut kalau dia berbaur akan menimbulkan lebamnya semakin banyak. 

Ada beberapa lebam yang tidak pernah sembuh karena kakeknya selalu menyerangnya di bagian yang sama setiap kali. Bahkan karena Drana tidak bisa mengerjakan soal dirinya mendapatkan pukulan lagi dengan tongkat tua yang membuat Drana jadi trauma. Setiap melihat tongkat tersebut rasanya seluruh tubuh Drana mengingat dari mana lebam-lebam itu berasal. 

Pria yang sudah beranjak remaja tersebut akhirnya meminta agar dirinya ikut sebuah kursus menggambar dengan tujuan agar dirinya bisa melakukan kegiatan yang tidak banyak berinteraksi dengan orang dan dirinya tidak harus melihat wajah kakeknya. Dengan perlahan lebamnya juga bisa berkurang dirinya tidak mau melihat lebam-lebam itu lagi. Walaupun akhirnya dia tetap mendapatkan lebam itu lagi saat penerimaan rapot. 

"Buat lo coba itu, kalau lebam gitu coba dikompres takutnya nanti enggak sembuh-sembuh, loh." Seseorang mengajaknya berbicara membuat Drana sebenarnya ingin langsung pergi saja takut kalau dirinya membuat kesalahan lagi dan kakeknya mengetahuinya. 

"Ambil. Tangan gue kedinginan, nih." Perempuan itu mengomel dan memaksa Drana untuk mengambil es batu yang sudah dibungkus oleh plastik es di sana. 

Drana diam. Tidak tahu harus berbicara apa kemudian dirinya berbicara dengan pelan. "Makasih." Perempuan dengan seragam sekolah yang berbeda dengan seragamnya tersenyum senang. 

"Nama gue Ina kalau lo?" tanya perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Ina dengan menyodorkan tangannya meminta jabat tangan. 

"Drana." Laki-laki itu hanya menjawab sekedarnya tidak tahu harus berbasa-basi apa. Ina juga tampak tidak peduli dengan jawaban Drana yang singkat karena perempuan tersebut sangat bawel menurut Drana. Drana jadi takut kalau perempuan dengan rambut kuncir kuda itu akan menyebabkan kakeknya murka kembali. 

***

21 November 2023 



My Backstreet Boyfriend Kejebak di TVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang