36. Titik Terang

2.8K 299 56
                                    

Dua minggu berlalu, adu suara keras antar kedua orang tuanya belakangan ini selalu temani hari-hari Jean Nara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua minggu berlalu, adu suara keras antar kedua orang tuanya belakangan ini selalu temani hari-hari Jean Nara. Kakaknya jarang pulang ke rumah, Papa dan Mamanya ribut tiada henti setiap hari. Rumah yang sebelumnya selalu hangat dalam sekejap berubah bak arena pertempuran.

Bunyi pecahan terdengar dari kamar kedua orang tuanya, disusul suara bantingan pintu dan langkah lebar sang ibu pergi dari rumah. Jean Nara disana, duduk termenung depan televisi saksikan pemandangan yang selama dua minggu ini temani hari-harinya.

Sang kakak dan Mama yang menentang segalanya serta sang ayah yang berjuang keras demi bungsunya. Jean Nara tumpukan kepala pada kedua lutut, menangis tanpa suara disana. Saksikan pertengkaran kedua orang tuanya bak hatinya diremas detik itu juga.

"Jean," panggilan kelewat lembut sang ayah buat si bungsu mendongak. Cepat-cepat ia hapus air matanya.

Sang ayah tertegun ditempat, entah sudah berapa puluh kali ia jumpai si bungsu menangis dalam diam. Andra mendudukkan tubuhnya samping putranya, raih bungsunya dalam pelukan.

"Papa, semuanya berantakan."

Andra menggeleng pelan, usap bahu bungsunya menguatkan, "Gak ada yang berantakan, nak—

"Bagian mana yang gak berantakan itu, Pa?" potong Nara cepat dengan kepala mendongak tatap sang ayah.

"Kamu, kamu sama Alaska gak berantakan. Biarin yang lain berantakan, asal bukan kamu."

"Papa pikir aku sama Kak Alaska bisa bahagia diatas penderitaan yang lain?"

"Mereka yang pilih menderita, mereka yang pilih menentang. Coba saja bisa memilih relakan segalanya. Tapi Papa sadar, relanya setiap orang itu berbeda-beda."

Andra tatap bungsunya dalam, netranya berkaca, tangan besarnya sapu rambut putranya yang menutupi kening.

"Papa ikut usahakan segalanya, demi bungsunya Papa."

Jean Nara bawa tangan sang ayah, tumpukan pipinya disana. Netranya bak menerawang jauh, "Jika sudah usahakan segalanya tapi tetap tak ada hasilnya

Mungkin memang takdirnya berhenti disini, Jean Nara relakan Satria Alaska."

"Jean Nara juga bisa berkorban segalanya, Pa. Segalanya demi keutuhan keluarga kita."

...

Bunyi bel sepeda itu memasuki rungu Alaska, buat senyumnya terbit hingga timbulkan lubang cantik dikedua pipi. Alaska ulurkan kedua tangannya, sambut yang dicinta dalam pelukannya.

Jean Nara, senyumnya terbit kala masuk dalam pelukan yang dicinta. Hirup rakus aroma parfum sang kekasih yang selalu buat merindu. Alaska lepaskan pelukannya, buat yang lebih muda mendongak, jatuhkan tatap pada manik segelap malam, biarkan dirinya tenggelam didalamnya.

Alaska terkekeh pelan, tangannya berpindah usap lembut pipi sang kekasih yang tampak tirus. Dalam hati ucapkan maaf berkali-kali.

"You did very well, Kakak."

Panglima Semesta | SungjakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang