Bab 1 : Janji Kita

204 26 9
                                    

Nggak sabar mau update.
Semoga kalian suka ya.

Klik '❤' untuk lanjut!

~~~

Tidakkah kau malu, pada dirimu sendiri?
Karena tidak semua perempuan menilai laki-laki dari parasnya, melainkan dari ucapannya.

— Syafira Anindhita —


☔☔☔

“Karena aku mencintai kamu, Sya. Jadi, kamu bakal nunggu aku kan?”

Delapan tahun berlalu. Janji yang mereka ucapkan di depan perpustakaan sekolah masih terus Syafira ingat. Di usianya yang ke dua puluh lima tahun, beberapa lamaran ditolak Syafira karena ia selalu menunggu Adimas kembali. Meski sudah hilang kabar sejak lulus, namun entah mengapa Syafira merasa ia harus tetap menunggu Adimas.

Waktu berlalu begitu cepat. Kini, Syafira tumbuh menjadi wanita yang cantik paras dan hatinya. Ia mengikuti jejak uminya menjadi seorang bidan di sebuah klinik yang di bangun oleh mendiang kakek dari pihak abinya. Abinya? Tentu saja seorang dokter berpengalaman yang jam terbangnya sudah tidak diragukan lagi. Namun, abinya bekerja di rumah sakit besar di pusat kota.

Banyak pengalaman yang Syafira dapatkan setelah berkeciumpung di masyarakat. Uminya juga selalu mendorong Syafira untuk selalu bersyukur dengan apa yang ia miliki saat ini. Semuanya cukup, membuat Syafira dikelilingi banyak orang baik.

Namun, sudah setahun ini kedua orang tua Syafira meminta agar Syafira segera menikah. Karena di keluarga mereka, hanya Syafira yang sama sekali belum ada tanda-tanda menikah dalam waktu cepat. Bagi Syafira, menikah bukanlah ajang perlombaan. Banyak teman-teman seperjuangannya yang sudah menemukan jodoh. Ada yang menikah saat ia lulus. Ada juga yang sudah memiliki anak dan lahir di Klinik Azzura, klinik keluarga Syafira.

Beberapa lamaran ditolak mentah-mentah oleh Syafira selain karena dia tidak tertarik, alasan besarnya karena sampai saat ini hatinya masih nyangkut di Adimas. Tapi, orang tuanya tidak tahu siapa sosok Adimas. Mereka berpikir, mungkin saja Syafira memang belum siap untuk membangun rumah tangga.

Sore itu, Syafira masih sibuk memeriksa pasien. Tentu saja, semua pasiennya adalah ibu-ibu, dan calon ibu tentunya. Syafira mengecek tinggi badan, berat badan, tensi, sampai lingkar pergelangan tangan. Lalu, menyerahkan laporan pada Dokter yang akan memeriksa lebih lanjut. Kebetulan, hari itu ada jadwal USG di klinik. Ada Dokter Alzi yang juga pernah belajar di bawah bimbingan Dokter Firdaus, Abi Syafira.

Tak terasa, jam kerjanya sudah habis tepat saat azan ashar. Syafira akan shalat di mushala klinik, setelah itu ia akan pulang dan membuat makan malam bersama umi.

Ketika sedang memakai sepatu setelah shalat, ia bertemu dengan Dokter Alzi yang baru saja datang hendak shalat ashar. Mungkin, pekerjaannya baru selesai. Mengingat banyak sekali antreannya jika ada jadwal USG. Karena Dokter Alzi hanya seminggu sekali datang ke klinik. Setiap harinya ia bekerja di rumah sakit yang sama dengan abinya.

“Syafira, sudah mau pulang?” tanya Dokter Alzi. Umurnya dua tahun di atas Syafira.

Syafira mengangguk, “iya, Dok.”

“Ya sudah, hati-hati di jalan ya.”

“Makasih, Dok,” balas Syafira, kemudian ia menuju parkiran. Setiap hari, Syafira membawa sepeda motor karena jarak klinik dan rumahnya pun tidak terlalu jauh. Jika kesiangan, dia akan nebeng Umi. Itupun, jika mereka sama-sama ada jam praktek.

Sesampainya di rumah, Umi Syanum menyambut Syafira dengan pelukan hangat. Beliau hanya akan datang ke klinik jika ada janji dengan pasien saja.

“Udah shalat ashar belum, Fir?” tanya Umi, membuatkan segelas susu hangat karena Syafira tidak suka kopi.

On Your Wedding DayWhere stories live. Discover now