Bab 3 : Taaruf

180 24 4
                                    

Haii, siapa yang udah bangun?

Tim bangun pagi atau bangun siang?

Tim chapter panjang atau pendek?

Tim baca langsung atau tim nabung?

Selagi nunggu aku udpate cerita ini, boleh ya baca cerita aku yang lain. Banyak yang udah complete kok hehe

Happy reading!
Jangan lupa vote dan komen sebanyak-banyaknya ❤☔

~~~

Aku akan mengalah pada hal yang bukan menjadi takdirku. Meskipun itu menyakitkan dan aku tidak tahu bisa bertahan atau tidak. Hanya saja aku tahu, Allah selalu bersamaku.

— Syafira Anindhita —

☔☔☔

Terdengar suara tangisan bayi baru lahir di klinik Azzura. Syafira membantu seorang ibu bersalin yang tiba-tiba datang sudah pembukaan 5. Bayi laki-laki itu lahir dengan berat 3500 gram dan panjang 50 centimeter.

“Alhamdulillah, selamat ya Bu bayinya laki-laki dan sehat,” ucap Syafira, pada sang ibu yang tersenyum terharu meski Syafira tahu pasti rasanya sangat sakit sehabis melahirkan. Namun, senyum seorang ibu begitu melihat buah hatinya terlahir ke dunia tidak bisa digantikan dengan hal mahal apapun di dunia ini.

Ketika sang ibu sudah tenang kembali, Syafira segera membersihkan bayi itu dari noda darah yang masih menempel. Lalu, menghangatkan tubuh bayi mungil itu dengan bedong. Sang ayah pun lantas mengadzani bayi tersebut. Meski sudah berkali-kali melihat hal tersebut selama ia praktek sebagai bidan, nyatanya Syafira selalu ingin menitikkan air mata karena terharu.

Setelah selesai membantu proses bersalin, Syafira beristirahat dengan bidan lain. Kebetulan, jam makan siang sebentar lagi. Syafira buru-buru membuka tas yang ia bawa. Hari ini Umi membawakannya bekal ayam teriyaki. Perutnya sudah keroncongan daritadi. Syafira termasuk orang yang tidak jijik, meski beberapa jam sebelumnya ia membantu proses bersalin. Hal seperti itu sudah biasa baginya. Sejak memutuskan menjadi seorang tenaga kesehatan, Syafira sudah membulatkan tekad. Ia tidak takut pada suntikan, darah, luka dalam, dan tidak jijik pada kotoran manusia.

“Enaknya yang bawa bekal,” ujar Bidan Tiara. Ia lebih muda setahun dari Syafira. Mereka pun berasal dari kampus yang sama.

“Hehe iya nih, Umi bawain aku bekal. Kamu mau? Kebetulan lauknya banyak,” tawar Syafira.

“Ih, beneran? Mau dong!” Tiara tak malu mengambil lauk Syafira, kan sudah ditawari yang punya. Ia pun membagikan ayam goreng miliknya pada Syafira.

“Ih kok aku dibagi segala? Buat kamu aja.”

“Nggak apa-apa. Itu ayam goreng beli tadi pagi.”

“Makasih, Tiara.”

“Sama-sama, Kak.”

Setelah makan siang, mereka akan shalat dzuhur di mushala. Mengecek kembali keadaan pasien. Lalu, tak terasa jam kerja sudah selesai. Syafira berpamitan pulang pada yang lain. Namun, sebuah panggilan telepon membuat Syafira berhenti di parkiran.

Dinda, teman SMAnya menelepon.

Tumben banget, ada apa ya?

On Your Wedding DayWhere stories live. Discover now