Bab 5 : Alasanmu Menangis

144 21 3
                                    

Jangan menangis hanya karena sesosok makhluk yang tidak mencintaimu.
Kamu berhak bahagia dengan pilihanmu.
Di dunia ini, akan ada banyak orang yang akan membahagiakanmu.
Termasuk, aku.

— Abimanyu Ghaffar Elrasyid —

☔☔☔

Cantik.

Kalimat pujian itu hampir saja Adimas lontarkan saat pertama kali bertemu dengan Syafira lagi. Setelah delapan tahun tidak bertemu, Syafira juga banyak berubah. Dia semakin anggun dengan balutan dress berwarna gold. Saat Jihan asyik mengobrol dengan Tere, teman klubnya saat sekolah dulu, Adimas masih menatap sosok Syafira dari kejauhan yang berdiri di samping Banyu, sepupunya.

Adimas ingin bertanya banyak hal pada Banyu. Seperti, kapan mereka berdua bertemu? Sejak kapan mulai mengenal? Dan, bagaimana bisa Banyu bertaaruf dengan Syafira?

Saat matanya menangkap Syafira yang mengajak pergi Banyu, Adimas hendak menyusulnya. Namun, Jihan menahan lengannya untuk tetap diam di tempat.

“Kamu mau kemana, Mas?” tanya Jihan.

“Iya, nih. Lagi asyik ngobrol juga. Mau kemana emang, Dim?” imbuh Tere.

Adimas bimbang. Akhirnya, ia tetap di tempat sambil meminum air yang sudah disediakan oleh panitia.

Di parkiran, Banyu berdiri mondar-mandir di luar mobil. Sebagai laki-laki, dia belum pernah menghadapi wanita yang menangis selain Yumna dan Mega. Namun, kali ini Banyu tidak tahu mengapa Syafira menangis secara tiba-tiba. Ia kebingungan. Karena itu, dia beranjak pergi tanpa sepengetahuan Syafira menuju minimarket di dekat sekolah. Ia membeli banyak minuman dan cemilan untuk Syafira. Ketika seseorang menangis, katanya makanan yang manis-manis bisa membantu meredakan stress. Banyu mengambil beberapa cokelat batang. Tak lupa membayar dan kembali lagi ke mobil.

Banyu membuka pintu mobil, membuat Syafira yang semula menunduk segera mendongak. Meski tangisnya sudah berhenti, namun air matanya masih mengalir. Matanya memerah. Jika Syafira pulang dalam keadaan seperti ini, Banyu sepertinya akan mendapat masalah.

“Saya nggak tahu kenapa kamu menangis, tapi terima lah. Siapa tahu buat kamu lebih tenang.” Banyu menyerahkan kantong belanjaan yang penuh itu pada Syafira. Syafira terkejut, tetapi dia juga merasa sedih karena Banyu adalah orang yang peka.

“Makasih, Mas Banyu,” ucap Syafira dengan suara parau.

“Sama-sama. Saya nunggu di luar ya. Kalau udah mau pulang panggil saya saja.”

Karena merasa tidak enak hati, Syafira pun pindah tempat duduk ke belakang. “Nggak apa-apa, Mas Banyu di dalam saja. Di luar dingin.”

“Beneran?”

Syafira mengangguk. Banyu pun setuju untuk duduk di depan. Syafira memakan cokelat pemberian Banyu.
Banyu menaruh tisu di tengah-tengah, agar Syafira mudah mengambilnya.

“Mas Banyu baik banget ya. Peka sama lingkungan sekitar,” ujar Syafira setelah mengelap wajahnya dengan tisu.

Mendengar itu, Banyu terkekeh. “Ah masa sih?”

“Iya, buktinya sekarang. Apa yang aku butuhin, tanpa aku bilang Mas Banyu tahu.”

“Saya hanya menebak saja, kok,” ujar Banyu. Padahal, mungkin karena dia sudah terbiasa menghadapi Bunda dan Mega yang selalu bertumpu padanya. Ditambah setelah ada Kinan,
Banyu sebagai Papanya sudah seharusnya peka akan hal-hal kecil.

On Your Wedding DayWhere stories live. Discover now