09. Hujan

1 3 0
                                    

Sepertinya pagi ini akan turun hujan. Valley menatap langit mendung dengan wajah murung. Hari ini hari Sabtu, sekolahnya libur. Tetapi, sekitar 2 jam lagi, dia akan pergi dengan Benaya. Bagaimana mereka bisa pergi jika hujan begini?

"Hujan... Hujan, pergilah, datanglah lain hari, aku ingin pergi. Hujan pergilah." Valley bernyanyi sambil menatap sendu ke arah luar dari jendela kamarnya.

Setelah merenung dan berdoa agak lama supaya hujan tidak turun, Valley memilih untuk keluar kamar, kemudian berjalan ke dapur.

"Lapar."

Valley membuka kulkas, menatap jejeran mie instan disana.

"Yang kuah atau goreng, ya?" Valley tampak berpikir keras.

"Mungkin yang kuah saja, ya? Dingin-dingin gini enaknya makan yang berkuah." Kemudian Valley mengambil 2 bungkus mie dari sana.

"Nanana..." Valley bersenandung sambil menuangkan air ke panci untuk di rebus.

Setelah air mendidih, Valley memasukkan mie ke dalam panci.

Setelah beberapa menit, mie telah matang. Valley mengangkat panci kemudian menuangkannya ke mangkuk. Mungkin Valley terlalu buru-buru sampai air dari panci tumpah ke pergelangan tangannya.

"Awh, panas!" Rintih Valley.

Bersamaan dengan rintihan Valley. Dering telepon berbunyi.

Valley mengangkat telepon dengan tangan yang masih sangat perih.

"Halo, Valley." Itu Benaya!

"Auh. Eh iya, Kak?" Valley merasakan tangannya berdenyut.

"Kamu kenapa? Sakit, ya?"

"Engga, Kak. Ini tadi tangan aku kena air panas. Tapi tidak apa-apa, kok."

"Aku kesana sekarang."

"Eh gausah, Kak. Kan hu-"

Belum sempat Valley menjawab Benaya sudah mematikan sambungan telepon sepihak.

Di lain tempat, seorang lelaki sedang menembus derasnya hujan pagi ini. Tak perduli bajunya sudah basah kuyup. Benaya khawatir pada Valley, sangat.

Setelah mematikan sambungan telepon dengan Valley, Benaya langsung pergi menaiki motor tanpa menggunakan helm.

Benaya tentu tahu rumah Valley karena saat ke pantai kemarin, Benaya mengantar Valley pulang.

Hujan makin deras, pandangan Benaya semakin buram karena, hujan menghalangi penglihatannya. Sekarang jalanan tampak sepi karena sebagian pengendara memilih untuk berteduh.

Benaya mengeratkan gasnya hingga kecepatan diatas rata-rata, beberapa saat kemudian dia menyipitkan mata melihat adanya cahaya dari depan, Benaya tak tahu bagaimana, yang dia ingat hanya mobil yang tiba-tiba berada di depannya kemudian menabraknya hingga dia terpental jauh di aspal.

***

"Kak Benaya! Bangun, Kak. Aku disini, aku baik-baik aja. Hiks... Kenapa jadi Kakak yang celaka?" Valley tak henti-hentinya membangunkan Benaya yang terbaring di atas brankar, walaupun itu adalah hal yang mustahil. Benaya koma, Valley sangat terpuruk sejak mengetahuinya.

Tadi saat Benaya sedang di perjalanan menuju rumah Valley, ada sebuah mobil dari lawan arah dengan kecepatan tinggi menabraknya. Untungnya sang pelaku bertanggung jawab dengan segera membawa Benaya ke rumah sakit.

"Maaf, nak. Tadi ada masalah di kantor saya, saya panik, saya mengambil jalur lawan arah walaupun saya tahu itu membahayakan. Saya salah, saya akan bertanggung jawab."

Valley tertunduk lesu, sedari tadi kalimat yang dilontarkan oleh pria paruh baya yang menabrak Benaya terus terngiang di kepalanya.

Apakah dengan kata maaf Benaya akan segera sadar? Dan kembali bersamanya? Tidak!

"Lakukan yang terbaik dokter, saya akan membayar berapapun asal anak itu bisa pulih."

"Baik, Pak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."

Samar-samar Valley mendengar suara itu. Matanya memicing ke arah kanan, melihat Pak Reno─pria yang menabrak Benaya─  berbincang dengan dokter dengan muka yang serius.

Valley yang tadinya ingin menjebloskan pria itu ke jeruji besi, mengurungkan niatnya. Setidaknya orang itu mau bertanggung jawab. Apalagi melihat wajah pria itu, Valley langsung teringat pada Papa nya.

Lagipula Benaya juga salah disini. Karena dia mengebut di jalan raya. Ah, sudahlah. Mendoakan Benaya agar lekas siuman lebih bermanfaat daripada membahas siapa yang salah disini.

***

Valley melenguh, perlahan dia membuka matanya. Menatap langit-langit yang berwarna putih dengan diam. Sedetik kemudian dia sadar sedang berada di ruangan dimana Benaya dirawat.

Valley bangkit dari tidurnya. Seingatnya tadi dia sedang mendoakan Benaya di kursi tunggu depan ruangan ini, kenapa sekarang dia malah tertidur di sofa dalam ruangan ini?

Sibuk dengan pikirannya sendiri, Valley sampai tak sadar seseorang memanggil namanya sedari tadi.

Valley tersentak saat seseorang memukul bahunya pelan. Menatap pria paruh baya yang sudah menabrak Benaya dengan tatapan bingung.

"Ada apa Pak..."

"Nama saya Reno."

"Ah, ya. Ada apa Pak Reno?"

"Kamu melamun? karena dari tadi saya panggil kamu tidak menyaut."

Valley menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Pak kenapa saya bisa ada disini, bukannya saya tadi duduk di kursi tunggu?"

Mengabaikan pertanyaan Pak Reno sebelumnya. Valley memilih menanyakan hal yang lebih penting.

"Saya yang memindahkan kamu. Maaf lancang, tapi saya tidak tega melihat kamu tidur di luar. Di luar sangat dingin."

Bukannya marah, Valley malah mengangguk. Entahlah, Valley merasa berbeda dengan Pak Reno ini. Biasanya dia akan marah ketika orang asing berani menyentuhnya. Tapi kali ini tidak, dan Valley tak tahu kenapa.

***

/20-12-23/

Hi, Bi!Where stories live. Discover now