☾06☽ Chiara's Story

435 44 9
                                    

Chiara mendesah pelan begitu selesai menghitung sisa uang di dompetnya. Ada buku yang ingin dia beli, tetapi sayang dompetnya tak mengijinkan. Sebagai anak penerima beasiswa yang setiap bulannya menerima tunjangan uang saku dari pemerintah, Chiara tak bisa hidup foya-foya. Dia tidak menerima kiriman uang dari orang tuanya sebagaimana kebanyakan teman-temannya, Chiara murni hanya mengandalkan uang beasiswa untuk biaya sehari-hari.

Sudah cukup ia menyusahkan orang tuanya untuk membayar biaya kos dan keperluan di awal kuliah. Chiara tak mau merepotkan lagi. Rencananya Chiara ingin kerja paruh waktu, tetapi ternyata tak semudah yang dia kira. Kebanyakan lowongan pekerjaan yang tersedia memiliki syarat minimal semester 3, dan Chiara masih jauh dari itu.

Beberapa hari terakhir ini Chiara terus memikirkan itu. Dia juga ingin menghasilkan uang seperti kakaknya yang kini kuliah sambil bekerja. Kakaknya mengambil kelas karyawan, dan setiap bulan masih bisa mengirimkan uang kepada orang tuanya. Tadinya Chiara hendak mengikuti jejak kakaknya, tetapi sang kakak melarangnya.

“Kamu kuliah biasa aja gak usah ngambil kelas karyawan, biar kerasa mahasiswanya.” Begitu kata sang kakak ketika Chiara mengutarakan niatnya. Alhasil Chiara pun mendaftar ke kampus negeri. Untunglah dia berhasil mendapatkan beasiswa.

Chiara bukan berasal dari keluarga sendok emas. Ayahnya bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik, sementara ibunya hanyalah seorang penjahit lepas. Selain kakak perempuan yang satu tahun lebih tua, Chiara masih memiliki satu adik laki-laki yang masih duduk di bangku SD.

Hidup mereka pas-pasan. Rumah mereka sempit, Chiara dan kakaknya harus berbagi kamar, sementara adiknya masih tidur bersama orang tuanya. Kondisi rumah pun tak selalu damai, terkadang kedua orang tuanya bertengkar dan Chiara sering menjadi sasaran kemarahan mereka.

Sebenarnya ibunya sempat melarang Chiara kuliah dan menyarankan untuk langsung bekerja, tetapi kakaknya menentang. Kakaknya adalah anak kesayangan ayahnya, karena itu sang kakak berhasil membujuk ayahnya agar membiarkan Chiara kuliah juga, sehingga ibunya mau tidak mau ikut setuju.

Walau pun kakaknya itu menyebalkan dan keras kepala, tetapi dia sangat menyayangi adik-adiknya. Wajah mereka mirip seperti anak kembar, tetapi Chiara memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan kakaknya.

Pernah suatu hari ibunya menyeletuk, “Buat apa punya anak kalau gak berguna!”

Kalimat itu langsung menusuk hati Chiara, membuatnya terdiam kehilangan kata-kata, tetapi sang kakak dengan santai menimpalinya, “Suruh siapa punya anak, aku juga gak pernah minta dilahirin.”

Balasan dari kakaknya membuat sang ibu semakin marah dan mengeluarkan kata-kata lain yang sama menyakitkannya. Kakaknya tak peduli dan memilih pergi, alhasil sebagai gantinya Chiara lah yang harus mendengarkan ocehan ibunya sampai selesai. Saat itu Chiara hanya diam menunduk sambil menahan diri agar tidak menangis. Kalau dia pergi seperti kakaknya, ibunya pasti akan lebih marah dan berujung menyumpahi mereka sebagai anak durhaka.

Suasana rumah yang seperti itu lah yang membuat kakaknya memilih untuk kuliah dan kerja di kota lain agar bisa tinggal sendirian. Dia juga menyarankan Chiara untuk kuliah di tempat yang jauh. Katanya biar kalau disuruh pulang ada alasan untuk menolak.

Kakaknya tidak tahu kalau selama ini ibu sering mengomel karena dirinya jarang pulang.

“Kakakmu itu mentang-mentang udah bisa cari duit sendiri, lupa sama keluarga. Gak pernah mau pulang!” keluh ibunya. Padahal kalau kakaknya ada di rumah, mereka hanya akan bertengkar. Lagi pula kakaknya juga sering mengirim uang walau tak seberapa.

Berbeda dengan ibunya yang tiada hari tanpa mengomel, ayahnya jarang berbicara. Chiara tak begitu dekat dengannya—sejatinya Chiara memang tak begitu dekat dengan kedua orang tuanya. Kakaknya adalah anak kesayangan ayahnya, dan adiknya anak kesayangan ibu, sementara Chiara bukan kesayangan siapa-siapa.

Agak miris memang, tetapi itulah kenyataannya. Chiara sudah sangat paham posisinya dalam keluarganya. Resiko jadi anak tengah, begitu Chiara seering menghibur diri.

“Chi!” Suara teriakkan Rindu disertai dobrakan pintu dari luar berhasil menarik Chiara yang tenggelam dalam pikirannya.

Ia memasukkan uang kembali ke dalam dompet dan mendongkak menatap Rindu. “Kenapa Rin?”

“Mau ikut aku pulkam gak?” tanyanya heboh.

“Hah?” respon Chiara bingung.

Jarak kampus dan rumah Rindu memang terbilang dekat. Hanya butuh waktu dua setengah jam menggunakan motor. Meski begitu, selama tiga bulan ini Rindu belum pernah pulang satu kali pun. Katanya dia malas pulang. Jadi, ajakan Rindu barusan terlalu mendadak sekaligus mengejutkan.

“Teman-temannya Sam juga mau pada main, jadi sekalian aja kita juga main sebelum nanti Senin UTS. Itung-itung refreshing.”

“Dimana-mana juga sebelum UTS itu belajar Rin, kalau udah selesai baru refreshing.”

“Habis UTS kayanya Sam bakalan sibuk. Aku gak mau pulang kalau sendirian, mamaku cerewet banget. Kalau kedatangan tamu rame-rame kan mamaku bisa diem.”

Chiara geleng-geleng. Meski tak menceritakan secara gamblang, sepertinya kondisi keluarga Rindu pun tak begitu baik. Rindu sering mengeluh soal ibunya yang super cerewet, dan saat itu terjadi Chiara hanya mendengarkan karena memahami betul apa yang Rindu rasakan.

“Tapi aku nggak enak ah.” Chiara berusahan menolak.

“Gak enak kenapa? Kamu kan udah kenal sama teman-teman Sam, malah temanmu si Erland juga ikut tuh. Nanti aku ajakin ke Posong kalau kamu ikut. Di sana pemandangannya bagus banget.”

Chiara diam, berpikir sejenak. Dia jarang main ke rumah teman. Selain karena tak punya banyak teman, dia juga sering merasa tak nyaman berada di tempat asing. Inginnya Chiara menolak, tetapi dia tidak tahu bagaimana melakukannya.

“Aku nggak apa-apa kalau ikut? Mama kamu emang ngebolehin?”

“Pasti lah. Mamaku dari dulu lebih senang kalau aku bawa teman main ke rumah dari pada aku yang main keluyuran, tapi karena dulu aku gak punya teman cewek jadinya aku lebih sering main ke rumah Sam sama teman-teman Sam.”

Chiara seketika teringat ibunya Rindu yang pernah ia temui saat beliau mengantar Rindu. Wajahnya mirip Rindu, sama-sama punya tampang jutek. Hanya saja ibunya jauh terlihat feminim.

“Berangkat kapan?” tanya Chiara kemudian.

“Nanti siang.”

“Ini udah siang Rin.”

“Sore maksudnya.” Rindu nyengir. “Habis ashar lah.”

Pada akhirnya Chiara pun mengiyakan ajakan Rindu.

Chiara mengesampingkan rasa takut dan ragunya. Ia pernah bertekad untuk berubah, dan mungkin ini adalah kesempatannya. Jarang-jarang ia punya teman yang cocok dengannya seperti Rindu, dan ini akan menjadi pengalaman pertamanya menginap di rumah teman. Jadi, sepertinya tidak ada ruginya kalau Chiara ikut.

“Jangan lupa bawa baju ganti,” ujar Rindu. Sedetik kemudian dia kembali berbicara. “Eh, gak bawa pun gapapa sih. Kamu bisa pakai bajuku.”

“Nggak, aku bawa baju sendiri aja.”

“Oke. Aku mau lanjut nyuci habis itu kita belanja terus berangkat deh.”

Chiara mengangguk dan langsung memilih baju apa yang harus dia bawa.

Chiara mengangguk dan langsung memilih baju apa yang harus dia bawa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
BelamourWhere stories live. Discover now