☾24☽ Trying to Survive

385 30 13
                                    

Malam selanjutnya mereka mendirikan bivak di dalam hutan tak jauh dari kebun teh. Kali ini yang mereka buat adalah bivak individu. Biasanya mereka mendirikan bivak berdekatan karena panitia sudah menyiapkan tempat untuk mereka, tetapi kali ini berbeda. Di dalam hutan ada banyak pohon yang memiliki batang dan akar-akar yang besar. Belum lagi semak-semak liar dan beberapa tanaman rambat membuat mereka terpaksa berpencar mencari tempat nyaman.

Erland selesai mendirikan bivaknya dan bergegas mengecek teman-temannya. Ia melihat Melisa yang posisinya paling dekat dengannya, perempuan itu masih bergelut dengan simpul dan tali. Ia pun berinisiatif membantunya.

Setelah bivak itu selesai, Erland menatap sekitar dan baru sadar kalau bivak Melisa berada di paling ujung karena tak jauh darinya Erland bisa melihat pita merah yang diikatkan pada batang pohon sebagai tanda dari korlap kalau mereka tidak boleh mendirikan bivak di luar batas itu.

“Mel, kita tukeran bivak aja.”

“Hah?” Melisa yang sedang membereskan barang-barangnya yang tercecer, kini menatap Erland pehuh tanya.

“Lo tidur di bivak gue.”

“Kenapa?”

“Gapapa.”

Melisa menatapnya curiga, tetapi dia tidak menolak karena bivak milik Erland terlihat lebih bagus dari miliknya.

Setelah itu mereka semua berkumpul dekat bivak Yunike yang berada paling depan, dekat dengan jalan masuk mereka tadi. Dari sana mereka masih bisa melihat kebun teh yang sangat luas, juga ujung tenda panitia.

Yunike masih tak banyak bicara. Wajahnya terlihat sangat pucat, jauh berbeda dengan wajah Yunike yang biasanya terlihat cerah merona.

Sebelum berpencar tadi, anak-anak cowok mendirikan bivak Yunike terlebih dahulu, sedangkan Melisa membuatkan susu hangat. Yunike berkali-kali minta maaf karena sudah menyusahkan mereka, tetapi mereka bilang mereka tidak keberatan.

Erland duduk di samping Yunike dan manatapnya. “Udah mendingan?” tanyanya lembut. Untunglah hujan sudah reda saat itu. Setidaknya mereka bisa memasak dengan tenang.

“Lumayan.”

“Bivak gue paling ujung, kalau ada apa-apa panggil Wizar aja. Bivak dia yang itu.” Erland menunjukkan bivak berwarna coklat yang hanya berjarak beberapa meter dari mereka, terhalang dua pohon besar.

Yunike mengangguk.

“Kita malam ini mau makan apa guys?” Melisa kembali bergabung setelah mengambil beberapa daun besar untuk alas duduk. Ia juga sudah mengganti sepatunya dengan sendal.

“Hari ini kita gak dapat apa-apa ya?” tanya Hasbi yang langsung dijawab anggukan oleh Wizar.

Jangankan untuk mencari bahan makanan, untuk berjalan saja mereka susah karena hujan yang terus turun dengan derasnya.

“Kita goreng ikan asin aja sama tempe sisa tadi pagi,” kata Erland. Dia diam sejenak sambil menghitung sesuatu dengan jarinya. “Kita baru tiga hari ya? Berati masih ada empat hari tiga malam lagi dan makanan kita tinggal telur sama mi instan.”

“Makanan kita yang disegel bakal dibuka gak ya? Sayang banget kalau nggak. Udah capek-capek dibawa kemari eh gak dimakan ujung-ujungnya.”

“Kayanya sih dibuka Mel, tapi mungkin hari terakhir. Soalnya kalau gak bakal dibuka pasti udah disita sama mereka dan ditinggal di basecamp,” jelas Hasbi.

“Buka sekarang aja boleh gak sih? Di dalam ada roti, susu, wafer sama mi goreng. Kita bisa bertahan kalau segel makanan dibuka.”

“Susu kental manis bukannya gak disegel ya?”

BelamourWhere stories live. Discover now