☾23☽ In the Rain

353 36 9
                                    

Hari ketiga jauh lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. Jam setengah tiga pagi mereka dibangunkan paksa oleh korlap. Kondisi mereka masih sangat mengantuk saat dievaluasi oleh pemateri Navigasi—dengan nada marah-marah, ditambah pula pemateri mountaineering dan survival yang ikut mengulik semua kesalahan mereka.

Apa pun yang mereka jawab terdengar salah, giliran tak dijawab malah tambah dimarahi. Memang posisi mereka dibuat serba salah. Alhasil mereka hanya mematung di tengah hawa dingin yang menusuk tulang. Ingin rasanya kembali ke bivak dan berlindung di dalam sleeping bag.

Erland pura-pura menyimak, padahal setiap kalimat yang dilontarkan panitia hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri alias dia tidak benar-benar mendengarkan. Tampangnya saja yang sok serius, aslinya pikirannya sedang berkelana kemana-mana.

“Mau berapa paket?” tanya korlap pada akhirnya.

Erland sudah menduga ujung-ujungnya bakal seperti ini, dan dia pun tahu pertanyaan barusan hanyalah jebakan. Jika mereka menjawab sedikit, mereka akan kembali diomeli, yang artinya beliau-beliau yang berpakaian serba hitam dengan slayer biru muda yang menghiasi lehernya itu ingin memberi mereka paket banyak tanpa mereka yang mengucapkannya sendiri. Licik memang.

“Sepuluh paket Mas!” kata Erland setelah Melisa menjawab lima dan langsung ditertawakan.

“Tuh temannya bilang sepuluh, kalian gak keberatan?”

“Nggak Mas.”

“Yang jawab cuma satu doang.”

“Nggak Mas!” Mereka menjawab lebih keras.

Setelah itu mereka diberi minuman hangat, satu gelas untuk semua orang dan semuanya harus minum karena diperhatikan satu persatu. Bagi orang-orang yang gampang jijik sangat tidak disarankan untuk masuk Mapala.

“Masih ada waktu sebelum azan subuh. Kalian mau nyicil paket berapa?”

Seketika mereka semua menghela napas berjamaah. Sebelum tidur paketan, bangun tidur paketan juga. Sebenarnya siapa yang menciptakan soal perpaketan ini. Apa pula manfaatnya?

“Lima dulu aja Mas.” Kali ini Hasbi yang menjawab. Suaranya terdengar tidak ikhlas karena sebenarnya dia ingin menjawab satu saja, tapi pasti kena semprot lagi.

“Oke. Langsung posisi!”

Dalam sekejap mereka semua sudah tengkurap di atas tanah. Bersiap-siap melakukan push up di pagi buta, di saat yang lain masih tidur nyenyak di atas tempat tidur yang nyaman.

Setelah paketan, lanjut solat subuh, masak sarapan, bongkar bivak, packing, paketan lagi, persiapan berangkat, kembali menghitung titik koordinat yang baru diberikan, dan melanjutkan perjalanan semakin ke atas.

Yunike bertanya di tengah perjalanan. “Ini kita bakalan sampai puncak?”

“Gak tau,” jawab Erland.

Mereka berjalan dalam satu baris ke belakang, posisinya masih sama seperti kemarin. Wizar paling depan, dan Erland paling belakang.

Setelah setengah jam lebih berjalan, langkah Yunike memelan. Erland pikir gadis itu kelelahan, tetapi setelah diperhatikan Yunike terlihat memegangi perutnya dengan kedua tangan.

“Kenapa Yun? Perutmu sakit? tanya Erland.

“Hari pertama Lan.”

Erland langsung menyuruh teman-temannya untuk berhenti dan istirahat sejenak. Sebagai teman dekat Yunike sejak SMA, Erland cukup sering melihat Yunike kesakitan saat hari pertama datang bulan. Katanya sebagian perempuan mengalami nyeri haid yang parah, sebagian biasa saja, dan ada juga yang tak mengalaminya.

BelamourWhere stories live. Discover now