13. kesempatan

1.6K 183 11
                                    

Setelah semalam damian dan widia mendengar tangis keras renja, mereka berdua langsung keluar. Widia langsung ingin menarik jovan yang memeluk renja karna berpikir itu tidak baik untuk penyembuhan renja, itu bisa saja memicu traumanya. Namun melihat bagaimana tangan renja begitu erat melilit bahu jovan membuat widia mengurungkan niatnya. Di tambah mendengar perkataan si mungil yang meminta jovan untuk jangan pergi, seolah-olah yang membenci jovan adalah widia dan damian sehingga mereka menjauhkan jovan darinya. Renja kadang tidak sadar bahwa itu demi dirinya, ia kadang tak sadar bahwa didekat jovan untuk saat ini akan membuat keadaannya memburuk. Ia justru masih menyisakan rasa khawatir dijauhkan dari jovan.

"Sayang, ingin makan apa?" widia bertanya sembari mengusap lembut surai si manis.

Namun bukannya menjawab, ia malah menanyakan keberadaan jovan yang tak nampak di meja makan, seingatnya semalam jovan tidak jadi keluar dan tidur di kamarnya.  "Mas dimana?"

Widia terdiam dan menatap damian.

"Mas pergi kekantor—"

"Adek gamau makan" dengan cepat renja menyela.

"Sayang, kenapa?" widia bertanya panik, pasalnya kondisi renja bisa Di bilang sudah stabil belakangan ini, ia juga jarang menangis atau tidak mau makan. Kecuali tadi malam saat jovan pulang.

"Mas udah janji ga bakal pergi, dia minta maaf dan minta buat adek jangan menghindar, tapi mas sendiri yang pergi-pergi terus, mas. . . dia yang ngehindarin adek" renja melirih di akhir kalimatnya, ia berpikir kenapa ia yang ditinggal sedangkan ini adalah salah jovan?

Jovan yang jahat kepadanya, tapi kenapa ia yang dihindari. Renja selalu kebingungan sendiri, entah dengan perasaannya, juga dengan keberadaan jovan.

Semakin kesini, ia semakin sulit untuk berpikir dengan benar.

"Papa akan suruh mas pulang, adek makan ya?" damian berusaha membujuk, tapi Renja masih menolak saat disuapi.

Ia ingin jovan, renja ingin jovan disini.

Maka damian langsung menyuruh jovan pulang, ia yang akan pergi ke kantor. Karna memang perusahaannya baru pulih, dan jovan yang selama sebulan ini berusaha memulihkan perusahaan yang sempat kacau di tengah kekalutannya. Membiarkan damian dirumah dan mengurus renja.























Ia baru pergi tadi pagi, lalu harus pulang kembali beberapa jam kemudian, padahal semalam pun jovan tak mendapat waktu tidur yang benar. Namun jovan tak terlihat keberatan sedikitpun, malah senyum tipis kini menghiasi wajahnya saat widia memberinya sebuah nampan makanan untuk simanis.

"Renja di taman belakang, tolong suapi ia makan" ujar widia.

Jovan mengangguk singkat dan berlalu ketaman belakang. Disana ia dapat melihat  renja yang duduk di ayunan yang dibuat oleh damian ketika renja berumur 4tahun.

Jovan sedikit ragu menghampiri, ia menghela nafas lalu perlahan mendekati renja.

"Dek. . . ayo makan" jovan bersuara pelan agar si manis tak terkejut, renja pun langsung menoleh hingga merepa bertatap sebentar.

Dalam tatapan itu, jovan sadar ada yang hilang dari renja. Walau ia mulai membaik, walau ia meminta jovan pulang, tapi tetap rasanya kini renja sangat berbeda dalam menatapnya.

Tatapan itu terasa. . . dingin.

Namun jovan tetap melempar senyum, ia mengajak renja untuk berpindah kekursi panjang yang juga ada di dekat taman belakang rumah  mereka.

"Adek bisa makan sendiri" ujar renja tanpa menoleh sedikitpun ke arah jovan.

Jovan pun hanya tersenyum simpul dan memberikan sepiring makanan berisi nasi, daging, juga sayur.

Suasana begitu hening, tak ada yang berniat mengeluarkan suara. Renja dengan makanannya, dan jovan dengan perasaan rancunya. Ia kembali menatap figur mungil si sampingnya, begitu kosong, namun jauh lebih baik dari terakhir kali mereka bertemu.

Jovan tersentak kaget saat renja menyodorkan sesendok makanan ke depan mulutnya.

"Mas belum makan kan?"  maka dengan senyum semakin mengembang jovan menerima suapan dari renja.

Niatnya jovan kesini ingin menyuapi renja, tapi malah ia yang disuapi sampai makanan di piring itu tandas.

"Mas lapar banget ya?" tanya renja dengan alis tertaut lucu. Akhirnya jovan bisa melihat lagi ekspresi menggemaskan milik si mungil setelah sekian lama hanya ekspresi datar yang ditampilkannya.

"Haha iya kayaknya" jovan tertawa hambar, tapi menyadari renja yang menatapnya dengan intens membuat jovan ikut terdiam.

"Kenapa?"

"Hm?" jovan bingung, kenapa dalam konteks apa yang renja maksud.

"Kenapa sampai lapar dan tidak makan?"  hati jovan menghangat begitu menyadari sirat khawatir dari pertanyaan si manis.

"Mas makan kok"

"Bohong" renja menyela dengan cepat, sorot matanya sulit sekali jovan artikan.

"Mas ga makan, ga tidur dengan benar juga. Mas mau sakit?"

Tidak bohong, jovan sangat terkejut ketika melihat mata renja mulai berkaca-kaca, apalagi kini tangan mungil itu bertengger di rahangnya. Jovan dapat merasakan elusan pelan dari jari si manis.

"Dek—"

"Lihat, mas jadi kurus. . . ini juga jadi hitam"  renja kemudian mengusap kantung mata jovan yang memang terlihat sekali perbedaannya.

"Mas gapapa—"

"Adek Udah maafin mas. . . jangan  kayak gini lagi" jovan benar-benar Tidak mengira renja akan menangis karna mengkhawatirkannya. Ini bahkan tak sepadan untuk membayar perbuatannya, lalu kenapa renja harus menangis? Renja  terlalu baik, dan itu berkali-kali liat membuat hati jovan sakit saat mengingat perbuatannya. Setidaknya jovan mendapat satu tamparan atau makian dari renja, atau ujaran bahwa renja membencinya. Tapi tidak, renja malah mengkhawatirkannya.

Karna disini renja mulai sadar satu hal, entah pemikirannya benar  atau tidak, ia merasa jovan menyakiti dirinya sendiri, renja tidak ingin itu. Entah karna renja terlalu menyayangi jovan, tetapi ia tidak rela jika jovan harus seperti ini.







Kenyataannya, walau pemikiran  renja sederhana, tapi disini dialah yang sadar bahwa jovan tidak baik-baik saja. Disaat ia membaik, ia menyadari beban yang di bawa oleh jovan.

Selama sebulan, diam-diam tanpa sadar renja selalu menunggu jovan pulang, setidaknya ia tau bahwa jovan pulang, bahwa jovan baik-baik saja.

Setelah mendengar Damian menghukum jovan, renja tidak bisa tenang. Dan saat itu, saat malam dimana jovan pulang. Renja dapat melihat dengan nyata  bagaimana keadaan jovan.

Bukan hanya penampilannya yang berantakan, renja juga menyadari bagaimana sorot mata milik jovan yang terlihat begitu kelelahan.

Dan nyatanya memang begitu, jovan memaksa tubuhnya bekerja SM baik mungkin disaat pikiran, bahkan tubuhnya tak baik-baik saja. Tak makan dengan benar, juga tak tidur dengan benar. Jovan hidup layaknya robot selama sebulan ini dengan rasa bersalahnya. Di tambah ia merasa memang harus mendapatkan ini karna memang damian tak membiarkannya pulang atau pergi.

Jovan merasa bahwa ini cara damian menghukumnya—yang nyatanya damian hanya meminta ya menjauh.





"Maaf. . ." jovan benar-benar tanpa malu menumpahkan tangisnya di bahu renja saat si bungsu pramana itu tanpa ragu memeluk tubuh jovan.

"Maafin mas. . ."

Renja terus mengusap surai hitam milik jovan. Sebenarnya, dilihat bagaimana cara Jovan menangis dan meminta maaf, semua orang tau bahwa kata sesalnya tak hanya sebagai pemanis. Jovan benar-benar menyesal, Dan ia akan melakukan apapun untuk membuktikan bahwa itu benar.








































Double update nih, biar cepet kelar sekalian trus aku bisa nulis cerita baru xixi 😦😦😦😦😦

Btw aku suka bnget emoj enih 😦😦😦

Mas ||Noren [ON GOING]Where stories live. Discover now