Life : 13

2.1K 286 137
                                    

Memang di pernikahan mereka, walau sudah resmi dan sah, hubungan sepasang suami mereka sebatas rangkulan, pelukan, usap-usap kepala, atau lebihnya dikit kecup-kecup kening pipi. Selebihnya lagi tidak ada.

Atau belum?

Tidak tau.

Mungkin memang belum, karena yakin masih banyak hal yang harus dibicarakan sebelum masuk ke tahap itu. Antara Tristan dan Abian harus bicara dari hati ke hati, secara waras, agar tidak berat sepihak. Harus diobrolkan dan mempersiapkan mental masing-masing.

Untuk bisa sampai kesana mungkin masih perlu tahapan yang lumayan panjang. Untuk sekarang, sebatas cium saja dulu. Karena tidak jarang memang ia merasa Tristan ini menciumnya, ia pikir ia halu, atau bagian dari mimpinya. Tapi selamam rasanya nyata kok, Tristan benar mencium kening dan pipi Abian.

Eh.. apa masih halu ya? Kan.. Abian juga semalam setengah sadar setengah tidur, jangan-jangan memang halu, bagian dari mimpinya.

Kini hanya terduduk memperhatikan punggung Tristan yang sedang masak saja rasanya malu. Kalau semalam memang Abian itu mimpi, waah.. malu sekali, masa Abian harus kecewa pada bunga tidur? Habis bangun tidur tadi Abian langsung teringat kalau semalam ia minta cium!

"Haaah.."

"Kenapa Bi? Pagi-pagi udah lemes."

"Hmm.." lemas karena pikirannya sendiri ini sih.

Abian rebahkan kepalanya di meja makan, pandangannya langsung tertuju pada foto-foto dalam bingkai kecil yang terpajang di atas bufet mini. Di foto, Abian dan Tristan lebih terlihat seperti kakak dan adiknya.

"Lemes banget sih? Masih kepikiran soal presentasi Kewarganegaraan."

Ya mungkin salah satunya.

"Makan dulu. Ayo." Tristan acak rambut Abian yang sudah acak-acakan. "Kuliah nanti mau aku anter aja atau gimana? Ujan soalnya."

Abian refleks balik badan, melihat jendela besar di ruang tv yang ternyata memang benar sedang hujan! "Aaargh males bangeett.. Kenapa sih ujannya harus pagi? Kenapa gak malem aja gitu? Kan enak, jadi lebih adem."

"Yaa kita kan gak bisa ngatur ujan."

"Iya.." lagipula Abian juga bukan pawang hujan. "Kalo dianter nanti pulangnya gimana? Masa Kak Tristan jemput? Kan kerja."

"Nanti aku minta tolong Agus aja jemput kamu. Kalo masih ujan, kalo udah gak ujan, yaa terserah. Kalo mau sama Agus nanti aku bilangin, kalo mau naik ojol juga gak papa. Tapi kalo ternyata kamu pulangnya lebih dari jam empat, nanti bisa aku jemput."

"Liat nanti deh kalo gitu. Berangkatnya Kak Tristan anter, aku gak mau pake jas ujan."

"Okee~"

"Eh, tapi aku kan kelas jam sepuluh Kak. Kak Tristan gak papa emang dateng telat? Telat banget loh mungkin?"

"Emang kalo aku telat kenapa sih? Gak bakal kena potong gaji juga."

Abian diam dulu, memperhatikan seringai Tristan yang.. yang... kok nyebelin gitu?! Mentang-mentang Bos!

Tristan hanya tertawa, melanjutkan makan, ia abaikan Abian yang sebal dengannya. Amat jelas terlihat kalau Abian benar sebal dengan Tristan, defini ekspresi menjelaskan semuanya dibanding kata-kata.

Sarapannya dengan menu sederhana saja, yang penting sarapan. Obrolan selama sarapan juga sederhana, tentang Abian akan kuliah apa saja hari ini dan pekerjaan apa yang akan Tristan lakukan. Setelahnya, keduanya bersiap. Ah bukan. Tristan yang bersiap. Abian malah ke depan tv nonton kartun dua bocil tak berambut.

Tadinya Abian mau latihan pidato, tapi nanti saja di jalan, sekarang mau santai dulu sebelum kena gempur anak Hukum saat Abian dan kelompoknya presentasi.

Imperfection (BL 18+) [COMPLETE]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora