5. Korea, I'm Coming!

16 6 0
                                    

Cinta pov*

 Hari yang ku tunggu pun tiba. Malam nanti aku benar-benar akan terbang ke Korea. Ini masih seperti mimpi bagiku. Aku tak bisa berhenti tersenyum menatap koper pink yang kupinjam dari kak Hani. Ah, lebih tepatnya kak Hani yang menawarkan koper itu padaku. Kakak sepupuku itu malah lebih antusias daripada aku.

 "Jangan lupa beli oleh-oleh yang gue minta kalau lo sampai di SS store."

 "Iya, bawel. Lagian kenapa nggak beli di SS store indo aja sih? Kan sama aja."

 "Nggak ada. Yang di SS store pusat itu limited edition ya. Makanya mumpung lo kesana, pokoknya gue harus punya."

 Mbak Laras yang sejak tadi berdiri di pintu kamar tampak kesal. Selama ini dia selalu meremehkanku yang sering mengatakan akan pergi ke Korea suatu hari nanti. Dan yang lebih membuatnya kesal adalah ayah dan ibu yang memberikan tambahan uang untuk membuat paspor dan visa.

 "Emang bener lo dapat tiket gratis di konser Shining boys bulan kemarin itu?"

 "Terserah mbak mau percaya apa enggak." Jawabku ketus sambil mengemas sisa barang ke tas.

 "Nih, gue ada buktinya." Kak Hani menunjukkan video di ponselnya. "Mereka kasih tiket untuk pemenang game di setiap negara."

 "Segampang itu?", Mbak Laras seolah masih tak percaya.

 "Dalam rangka ulang tahun ke 16 mereka. Dan Cinta jadi salah satu yang beruntung."

 Mbak Laras menatapku yang ku balas dengan senyum penuh kesombongan sembari mengibas-ngibaskan paspor di depan wajah. Aku sangat puas ketika mbak Laras menatapku tak percaya, kemudian ditambah lagi dia berjalan keluar dengan menghentakkan kaki. Tawaku dan kak Hani meledak begitu mbak Laras tak terlihat. 

 "Ini." Kak Hani meletakkan sebuah buku di atas tasku.

 "Apaan ni? Aku harus minta tanda tangan lagi?"

 Kak Hani menghembuskan nafas, tampaknya dia sedikit kesal karena pertanyaan itu. Dia pun mengambil buku tadi dan duduk di sampingku. Aku memperhatikan halaman yang kak Hani tunjukkan.

 "Gue lupa nggak ngasih lo catatan jauh-jauh hari. Ini semua tentang Shining boys yang harus lo tau."

 "Buat apa? Nggak penting", ucapku sambil mengalihkan pandangan dari buku itu.

 "Eh, lo ngeremehin idola gue lagi?" Kak Hani memang mudah emosi jika terkait sang idola.

 "Bukan gitu, maaf." Aku cengar-cengir sambil menggaruk kepala.

 "Ini penting!" ucapnya sambil menepuk buku itu keras. "Penting banget malah. Karena buku ini akan membuat lo kelihatan pinter dan gaul dikit."

 "Ya Allah, kak. Gitu amat sih. Emang aku sebodoh dan sepolos apa sih?"

 "Hih!". Lagi-lagi aku benar-benar membuatnya emosi. "Lo mau di sana cuma melongo nggak ngerti apa-apa pas ketemu oppadeul, pas ketemu BE yang lain?"

 Aku mulai mengerti. Jadi buku itu harus ku baca dan pelajari agar aku tak kebingungan seperti saat menerima pertanyaan kak Ayu waktu itu. Baiklah, aku tidak boleh mempermalukan diri sendiri. Jadi suka tidak suka akan ku baca di pesawat nanti.

 "Eh, udah check in online belum?"

 "Udah kak."

 "Hayuk berangkat sekarang, jangan sampai lo telat terus ketinggalan pesawat!" kak Hani sudah berdiri dan bersiap menarik koper.

 "Santai kak, paling take off jam sembilan lebih kok. Semangat banget sih?"

 Ayah akan mengantarku ke bandara meskipun tadinya beliau tidak mengizinkanku pergi, tapi akhirnya Ayah menawarkan diri mengantarkan putri satu-satunya ini. Ya, aku adalah putri satu-satunya karena mbak Laras adalah anak dari istri ayah saat ini, yaitu ibu Ratih wanita yang ku panggil ibu.

 Selain karena keindahan Korea, Lee Yuni, dan Ae Ra, hal yang membuatku sangat ingin pergi adalah keluargaku. Hubunganku dengan mbak Laras kurang baik, begitu juga dengan ibu tiriku. Tapi aku tak menyangka ibu memberi tambahan uang demi keperluan paspor dan visa untukku. Ayah tak ada bedanya, semenjak Raka lahir aku merasa Ayah lebih sayang padanya lalu perlahan kami menjadi jauh. Ayah, ibu, dan mbak Laras selalu meremehkan impianku yang sangat ingin pergi ke Korea.

 "Cin, Cin.. Buat apa kamu buang-buang uang buat kursus bahasa Korea? Kamu nggak kasihan sama ayah kamu uang hasil kerja kerasnya kamu sia-siakan."

 "Kamu kerja yang bener, jangan pindah-pindah terus. Dan lebih baik uangnya kamu tabung untuk masa depanmu, nduk.

 "Mau ketemu Lee Yuni.? Hahaha, jangan ngimpi lo, Cin! Nyari uang aja belum becus."

 Ya begitulah kira-kira ucapan mereka. Tapi semua ucapan itu tak pernah menyurutkan niat untuk mencapai impianku. Sebenarnya aku sedang berusaha keras mencari pekerjaan lagi agar bisa menabung untuk transport ke sana, tapi ternyata keberuntungan sedang menghampiriku. Allah telah menjawab doa yang ku panjatkan setiap hari.

 "Cin, coba cek lagi ada yang ketinggalan nggak?"

 Kak Hani tak ketinggalan mengantarku, dia cerewet layaknya seorang ibu yang mengantarkan anaknya yang hendak pergi jauh. Aku yang akan naik pesawat untuk pertama kali, tapi kak Hani yang tampak begitu gugup. Sejak sampai di bandara dia tidak bisa diam, berjalan mondar-mandir sambil sesekali melihat jam di tangan.

 "Kakak ih!" Aku menggapai tangan kakak sepupuku itu. "Sini duduk napa? Dari tadi kaya setrikaan aja."

 "Agen travel sama orang yang bakal kesana sama kamu itu mana sih? Kok nggak dateng juga?"

 "Lagi otw. Ni baru ngirim aku pesan."

 Kak Hani menatapku dengan raut khawatir. "Perasaan gue aneh tau nggak. Nggak enak gitu."

 "Ya Allah, kak. Jangan gitu ah, jangan bilang kak Hani punya firasat pesawatnya bakal nyebur ke laut atau ilang di pegunungan ya?"

 "Hus! Cinta, jangan gitu ngomongnya, nduk. Pamali."

 Aku meringis menatap ayah yang baru saja membelikan air mineral. "Maaf yah, Cinta cuma bercanda kok."

 "Anak om nih, kalau ngomong suka ceplas ceplos aja."

 "Habisnya sih, kak Hani dari tadi mondar mandir nggak jelas terus bilang punya firasat…"

 Astaga, ada sesuatu yang aku lupakan. Segera ku buka koper dan mencari kedua benda itu. Pertama aku memeriksa tas yang sejak tadi ku peluk dalam pangkuan, lalu pouch tempat uang hingga pouch perlengkapan mandi juga ku periksa. Aku mulai memeriksa isi koper, hampir saja ku keluarkan isi baju karena begitu panik.

 "Ada apa, Cin?"

 "Gawat…"

 "Alat gambar sama ipad lo ketinggalan?"

 "Bukan."

 "Jangan bilang paspor sama visa lo ketinggalan."

 "Kak," Aku menatap kak Hani yang sedang menatapku tajam. Aku mengangguk pelan.

 "Beneran ketinggalan?!", tanyanya panik. Aku pun kembali mengangguk, tak bisa berkata-kata.

 "Coba cari lagi, nduk." Usul Ayah.

 "Bener nggak ada. Tapi tadi perasaan udah aku selipin di sini nih." Aku menunjukkan bagian samping tas punggung.

 "Astaga Cinta! Ceroboh banget ni bocah."

 Kak Hani dan Ayah berusaha mencari kedua benda itu di tas dan koper. Sementara aku, lututku terasa lemas sampai terduduk di lantai. Apa aku akan gagal pergi ke Korea? Sudah banyak hal yang kubayangkan, sudah banyak hal pula yang ku rencanakan. Rasanya mimpi indahku kini berubah menjadi mimpi buruk. Impianku harus berakhir karena kecerobohanku sendiri?

 



 




My Idol, My AhjussiWhere stories live. Discover now