13. Meminta Ijin

3 1 0
                                    

Cinta pov* 

 "Tetaplah disini."

 "Maksudmu?" tanyaku bingung.

 "Begini, bukankah kau pernah bilang padaku bahwa ingin tinggal di Korea? Jika kau ingin tinggal, maka kau butuh pekerjaan bukan?"

 "Iya," jawabku lirih sambil mengangguk.

 "Bagaimana jika kau bekerja padaku?"

 "Bekerja padamu?"

 "Iya, di cafe ini."

 "Di sini?" tanyaku lagi.

 "Itu jika kau mau. Tidak mudah untuk mencari pekerjaan. Lagi pula kau orang asing."

 Aku terdiam memikirkan ucapannya. Memang benar, aku ingin sekali tinggal di Korea. Lalu, tujuanku yang lain juga belum terlaksana, yaitu bertemu Lee Yunki aktor idolaku dan juga Kim Ae ra sahabatku yang entah masih menganggapku atau tidak. Mungkinkah ini kesempatan yang tidak akan datang untuk kedua kali?

 "Baiklah, aku terima tawaranmu." Jawabku mantap. 

 "Baguslah." Dia hendak beranjak, tapi kemudian menoleh menatapku. "Jangan lupa beri kabar keluargamu bahwa kau akan tinggal."

 Kedua mataku membola dengan mulut menganga. "Astaga aku sampai lupa! Kenapa kau tak mengingatkan sejak tadi?"

 Aku segera berlari, melewati Jong Hoon oppa menuju ke kamar. Segera ku cari tasku yang tadi sepertinya kulempar sembarangan ke tempat tidur. Tapi benda itu tak ada disana, ini membuatku sedikit frustasi.

 "Apa kau mencari ini?" Jong Hoon oppa mengambil tasku yang terletak di lantai dekat tempat tidur.

 "Astaga, kenapa bisa ada di sana?" ucapku sembari mengambil tas darinya.

 "Bagaimana kau tak melihatnya?" Dia tersenyum, kemudian melangkah pergi.

 Teleponku tak kunjung diangkat. Di Indonesia sekarang sekitar pukul dua belas siang, dan biasanya jika hari minggu seperti ini ayah berada di rumah makan. Mungkin rumah makan sedang ramai dan ayah tak mendengar ponselnya berdering. Aku mencoba menghubungi nomor mbak Laras dan ternyata mbak Laras langsung mengangkatnya, tumben sekali.

 "Tumben cepet banget angkatnya."

 "Ada apa? Kenapa telpon gue? Udah sampai di bandara? Tapi bukannya sekarang harusnya masih ada di pesawat ya? Apa lo nggak jadi pulang?" tanyanya panjang lebar tak berjeda.

 "Iya, aku nggak jadi pulang."

 "Hah? Hahahaha!"

 "Berisik ah! Cepetan kasih ke Ayah. Aku mau ngomong sama Ayah kalau nggak jadi pulang hari ini."

 "Serius lo?"

 "Dua rius. Cepetan ah!"

 "Iya, bawel!"

 Aku mendengar suara langkah kaki mbak laras ketika menuruni anak tangga. Tapi tak lama setelah itu sambungan telepon malah terputus. Aku hendak menghubungi lagi, tapi ada panggilan video dari mbak laras. Sekarang aku jadi bingung dan khawatir. Bagaimana harus menjelaskan pada Ayah? Bagaimana jika Ayah tidak mengijinkan aku tetap tinggal?

 Aku menggeser tombol hijau dengan ragu. Tampak wajah Ayah di layar. Ayah menatap dengan ekspresi yang tak kumengerti. 

 "Nduk, kamu nggak di pesawat? Bener kamu nggak jadi pulang?"

 Aku bingung mau menjawab apa, pasti mbak Laras sudah mengatakannya pada Ayah. Dan sekarang Ayah jelas melihat bahwa aku tak berada di pesawat.

 "E…, itu Yah. Aku…."

 "Ada perubahan jadwal?"

 "Bukan Yah."

 "Terus? Kamu ada di mana itu?"

 "Aku di rumah teman." Celetukku. Tiba-tiba saja terpikir olehku bahwa aku sedang di rumah Kim Ae Ra, andai saja benar seperti itu.

 "Teman?"

 "Iya, yang dulu pernah ku ajak ke rumah itu lho Yah."

 Dua tahun lalu saat awal perkenalanku dengan Ae Ra, aku memang sempat mengajak dia ke rumah dan mengenalkannya dengan keluargaku. Waktu itu Ae Ra bilang sedang berlibur dengan keluarganya, dia sedang berjalan-jalan sendiri dan tersesat hingga akhirnya bertemu denganku. Dari Ae Ra aku lebih menekuni tentang gambar ilustrasi, kebetulan Ae Ra seorang ilustrator lepas. Dan karena dialah aku punya keberanian untuk membuka jasa pembuatan gambar ilustrasi.

 "Owh, siapa ya namanya? Ayah lupa. Jadi kamu udah ketemu sama dia? Terus, sekarang mana anaknya?"

 "Dia lagi kerja," lagi dan lagi kebohongan keluar dari mulutku. Maafkan Cinta, Yah.

 "Coba ayah mau lihat tempat kamu sekarang."

 Aku bangun, perlahan mendekat ke pintu dan menutupnya, lalu menutup gorden jendela. Kemudian aku memperlihatkan ke sekeliling ruangan dengan warna dominan putih dan krem ini. Sepertinya ayah percaya aku berada di rumah Ae Ra.

 "Ini kamar dia, Yah."

 "Jadi, kamu pulang kapan nduk?"

 Aku kembali duduk ditempat tidur. "Gini yah, ada yang mau aku omongin. Aku mau minta ijin sama ayah."

 "Minta ijin apa?"

 "Aku nggak bisa pulang sekarang"

 "Oh, kamu mau main-main dirumah teman kamu dulu?"

  "Bukan itu, Yah. Aku bakal lama tingfal disini, soalnya aku udah dapat kerjaan."

 Ayah tampak bingung, "Kamu ini ngomong apa sih?"

 "Aku mau disini, ayah nggak usah kuatir. Aku kerja sama keluarganya Ae Ra. Boleh ya yah? Plis…, boleh ya?"

 "Jangan ijinin dia Yah!"

 His, ngapain sih mbak Laras ganggu aja. Tahu begini tadi aku minta Ayah bicara di ruang kerja Ayah saja. Sekarang malah ibu juga ikut-ikutan. Kalau ada mereka berdua pasti Ayah tidak akan memberi ijin. Walaupun Ayah tidak mengijinkan, aku akan tetap disini. Lagi pula Ayah tidak bisa memaksa aku, mana mungkin ayah kesini dan bawa aku pulang. Maaf yah, kali ini…saja biarkan Cinta bebas.

 "Nduk, hidup di negeri orang itu nggak semudah yang kamu bayangkan. Kamu yakin? Rasanya ayah nggak bisa lepas anak gadis ayah begitu saja. Jadi, maaf ayah nggak akan kasih kamu ijin."

 "Yang ayahmu bilang benar. Kamu kerja di sini aja suka nggak betah kok tiba-tiba kerja di Korea." Sambung ibu yang sudah tak ku herankan lagi jika dia akan berpendapat demikian.

 "Biarin aja Yah, Buk. Palingan nggak sampai seminggu dia minta pulang karena nggak betah."  Mbak Laras ikut-ikutan.

 Yang Ayah dan Ibu katakan memang ada benarnya. Tapi ini adalah negara impianku. Aku bisa berbahasa Korea meski masih harus terus belajar. Setidaknya aku masih bisa berkomunikasi dengan baik. Dan soal aku yang selalu tidak betah di tempat kerja, itu benar. Tapi itu dulu, dan sekarang aku yakin aku pasti bisa bertahan di sini. Aku akan membuktikan kepada mereka.

 "Ayah itu kuatir. Gimana ya, ayah kan belum tahu bagaimana keluarga teman kamu itu. Lagipula kamu kan berteman cuma lewat hape."

 "Tapi kan aku udah pernah kenalin sama Ayah. Dia baik kok, keluarganya juga baik."

 "Cinta, Ayah harap kamu pikirkan lagi. Tolong segera pulang ya, nduk. Ayah belum bisa kalau kamu kerja jauh-jauh."

 "Yah, Ayah!"

 Baru juga aku ingin merayu Ayah lagi, sambungan videonya sudah di putus. Baiklah, biarkan dulu saja. Anggap aku juga sedang memberi waktu untuk Ayah dan juga untukku berpikir. Sejak kecil aku tidak pernah menentang Ayah. Aku gadis yang cenderung menurut dan tak terlalu banyak menuntut. Bahkan ketika Ayah menikah lagi, aku diam. Jadi, kupikir harusnya ayah mengerti dan kali ini memberiku kesempatan untuk melakukan apa yang aku inginkan. Semoga saja.

 

My Idol, My AhjussiWhere stories live. Discover now