4. Pada Pandangan Pertama

96 17 3
                                    

"Aaaww!"

Hari ini aktivitas pertama Helena adalah kembali mengajar di Elephant Love. Ia mengubah dirinya untuk menjadi lebih ceria di tempat yang penuh dengan anak-anak ini, tapi sesuatu terjadi dan membuatnya mendadak kehilangan keceriaan karena harus menahan rasa sakit.

Empat hari lagi menuju pertunjukan baletnya dan sebagai pemeran utama ada peraturan tak teruliskan yang mengharuskan mereka untuk diet. Ya, diet untuk menjaga bentuk badan selama seminggu sebelum pertunjukan.

Helena mengeluhkan masalah ini. Badannya sudah cukup kecil dan pelatihnya menyuruh ia untuk diet agar dapat bergerak lincah selama di atas panggung. Sekarang ia harus menanggung rasa sakit di lambung akibat pola makannya yang berkurang.

Nasib buruk tak sampai di situ saja, Helena masih harus menahan kekesalan akibat hilangnya barang penting di hidupnya saat ini. Kacamata yang baru saja ia beli kurang dari satu bulan itu raib baik ditelan bumi. Ia semakin dibuat tertekan akibat dua kondisi tersebut.

Helena bisa saja memakai kontak lensa untuk beraktivitas, tapi satu bulan yang lalu ia pernah dibuat iritasi akibat pemakaian benda itu yang terlalu sering. Dokter yang menanganinya segera menyuruhnya untuk berhenti menggunakan kontak lensa dalam beberapa saat.

Pukul sepuluh pagi kurang, sebelum persiapan mengajar Helena tengah menyibukkan diri di depan cermin toilet. Ia memakai kontak lensanya kembali karena hari ini ia akan melakukan banyak gerakan. Cukup sulit jika ia memakai kacamata di saat melakukan putaran.

Bersamaan itu, seseorang tiba-tiba saja ikut menghampiri tempat ini di sampingnya. Helena mencuri pandang dan mendapati ada Eden di dekatnya.

"Kamu bisa gak buka kelasnya nanti?"

Pertanyaannya itu tertuju padanya. Helena menoleh pelan ke arah Eden.

"Aku dari semalem belum tidur. Hoooaam! Capek banget."

Tanpa bersuara sedikit pun, Helena hanya mengangguk membalasnya. Ia cepat-cepat memasukkan beberapa alat make up yang tersisa ke dalam tasnya sebelum pergi meninggalkan toilet ini.

"Kamu tahu gak sih, anak kecil yang gendut itu—aduh aku lupa namanya siapa. Kamu kenal, Hel?" tanya Eden.

"Kyara?" tebak Helena.

"Iya. Duh, aku tuh kesel banget sama dia. Mana tiap ngajar selalu gak tertib. Gerakan gak ada yang bener, lagian orang tuanya kenapa ngide segala nyuruh anak bontet kayak gitu nari balet. Ya gak bisa lah!" cerita Eden.

Helena tak ingin menanggapinya. Ia segera pamit dari hadapan Eden untuk persiapan membuka kelas. Selama ia berjalan, Helena bergidik ngeri membayangkan bagaimana Eden membicarakan hal buruk tentang muridnya.

Dan itu mengingatkannya tentang satu hari, di ruang sanggar tari sekolah pada delapan tahun yang lalu.

Bel istirahat pertama baru saja berbunyi tepat pukul sepuluh pagi. Saat itu seluruh murid berhamburan cepat keluar dari dalam kelas mereka untuk segera menuju kantin dan mengisi perut mereka.

Helena bersama seorang temannya bernama Anggit tengah berjalan menuju kantin juga. Mereka mengobrol seru selama perjalanan itu sampai satu teriakan suara memanggilnya arah koridor kelas dua belas.

"Helena! Dek!"

Obrolan mereka berdua segera terhenti. Helena mendengar, tapi ia tak ingin menoleh sama sekali ke arah sumber suara. Sampai suara itu kembali bergema dan lebih kerasa dari sebelumnya. Semua orang melihat ke arah sumbernya.

Mau tak mau Helena terpaksa berbalik. Anggie tahu apa yang terjadi saat ini.

"Gak usah ke sana, Hel!"

into foreverWhere stories live. Discover now