31B. JANGAN TAKUT SAYANG

62 16 0
                                    

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Agha yang mengusul Radjini yang kini berbaring miring memeluk Niha yang baru saja tidur setelah Radjini membacakan dua cerita rakyat.

"Tentang apa?" tanya balik Radjini dengan raut wajah bingung begitu bertemu sang suami malah ditanya hal begitu. "Abang dari mana?"

"Dari kerja, terus mandi," jawab Agha yang memang kini sudah mengenakan kaos lengan pendek putih dan celana Panjang katun motif kotak-kotak abu tua dan muda. "Ada apa?" tanyanya karena melihat Radjini yang tertegun.

"Em, anu," balas Radjini ragu-ragu menimbang mengatakan keinginannya.

"Ada apa bilang saja. Jangan takut denganku," tukas Agha cepat, ia masih khawatir jika sang istri akan trantrum seperti sebelumnya.

"Gimana ya bilangnya, tapi pingin," gumam Radjini yang jelas masih bisa didengar oleh Agha.

"Kamu mau minta perhiasan?" tanya Agha asal.

Radjini mendelik, melongo sebentar tidak menyangka suaminya menanyakan hal itu. Untuk apa perhiasan, Radjini bahkan tidak pernah ke acara kondangan apapun. "Bukan," jawabnya seraya menggeleng cepat.

"Lalu apa? Mobil bagus seperti punya Ratri?"

"Bukan juga," balas Radjini lagi.

"Terus apa? Katakan saja."

"Aku takut kalau bilang nanti Abang marah," ujar Radjini lirih.

"Kenapa marah? Kalau cuma perhiasan, rumah, mobil atau tanah juga akan aku belikan sebanyak yang kamu mau dan aku mampu."

"Bukan itu, bua tapa Ini beli tanah banyak-banyak. Bayar pajaknya bikin puyeng tau."

Agha terkekeh mendengar jawaban istrinya yang menyangkut pautkan dengan pajak. "Lalu apa, Asal kau tidak minta pisah. Aku akan kabulkan."

"Bukan pisah juga sih, anu ... Ini pingin bilang tapi beneran takut bilang soalnya dulu banget waktu Ini hamil, Pak Madun yang belanjain kalau Ini ngidam. Abang ngak ada di rumah."

Diingatkan tentang kealpaannya itu kembali membuat hati Agha terasa teremas rasa bersalah. Namun ia kembali tersadar dan mulai paham dengan mau sang istri. "Jadi istriku ini mau apa sekarang?" tanyanya dengan nada lembut.

"Mau sup kambing."

"Hanya itu?" tanya Agha yang tak menyangka dengan permintaan Radjini. Kalau itu mah, gampang pake banget.

Radjini menggeleng. "Bukan cuma sop, tapi juga nasi dan es jeruk. Boleh ya beli es jeruk?"

Agha terkekeh lirih takut mengganggu anaknya yang tidur pulas. Ia mendekati Radjini yang sudah duduk di pinggir ranjang. Agha mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepalanya.

"Apapun boleh," ujar Agha seraya sedikit menunduk menyamakan tatapannya sejajar dengan wajah Radjini. Agha meraih dagu Radjini dan mengecup bibir sang istri sekilas. Kepolosan sang istri membuatnya gemas tapi tetap harus berusaha bersabar hingga Radjini yang menginginkannya terlebih dahulu.

"Tapi Ini, maunya makan malam ini," jawab Radjini setelah sedikit menjauhkan wajahnya dengan wajah merona merah tak menyangka Agha akan mengecup bibirnya dengan cara seperti itu. Hanya ciuman kilat tapi efeknya menimbulkan kupu-kupu diperutnya.

Agha langsung menegakkan badan dan meraih tangan Radjini. "Ayo kalau gitu, aku tahu tempat makan sup kambing yang enak."

Sekitar sepuluh menit berkendara sampailah mereka berdua di sebuah kedai kaki lima yang cukup ramai di jam sebelas malam. Agha terpaksa memarkir mobil agak jauh karena ramainya sepeda motor terparkir di muka kedai.

"Ayo turun," ajak Agha, melihat Radjini yang sedikit ragu-ragu.

"Em, tidak ada tempat lain ya?" katanya tetapi sorot mata nyalang menatap pada persimpangan depan sana yang hanya terdapat satu lampu jalan. Kebetulan tempat yang mereka tuju sedikit pinggiran bukan dekat dengan pusat kota.

"Ada apa Sayang?" tanya Agha seraya meremas tangan Radjini lembut, guna menarik perhatian wanita itu. Sepertinya sang istri resah akan kesuatu yang mungkin pernah ada dalam ingatannya.

"Ini dulu kabur di sini," ujarnya seraya menunjuk pada tikungan menurun setelah persimpangan.

"Di sana?" tanya Agha terkejut. "Bagaimana bisa kau kabur di sini? Jauh sekali. Siapa yang membawamu sampai sini?" tanya Agha lagi, sungguh dirinya penasaran karena rumah yang kini mereka tinggali adalah rumah baru yang dibeli Agha belum lama ini.

Radjini mendengar ucapan Agha dan berusaha mengingat akan tetapi rasa sakit langsung mendera kepalanya dan dadanya terasa sesak. "Sakit, ampun," racaunya.

"Sayang, hai... hai... hai... ada aku di sini. Kau sudah tidak sakit," ujar Agha seraya meraih tubuh Radjini dan berusaha meraih tangan Radjini yang mulai menjambaki rambutnya sendiri.

Radjini terisak dalam pelukan Agha karena ia pun bingung bagaimana dirinya bisa kabur dan siapa yang membawanya ia pun lupa.

"Jangan takut Sayang. Ada aku di sini."

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang