38 B. Salah Paham

54 15 3
                                    

"Sedang apa di sini?" ulang Agha.

Radjini segera mendongak dengan raut kaget dan sedikit pucat seolah kepergok melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

"Sedang apa?" Lagi Agha bertanya seraya berjalan mendekati ranjang.

"Aku tadi baru habis telepon sama Wilma," ujar Radjini takut-takut hingga suaranya bergetar. Kecemasan bahwa akan tidak mendapatkan izin bekerja seperti lingkaran setan mendera benaknya. Sementara keinginan untuk mandiri begitu menggebu.

"Wilma?"

"Iya. Wilma yang jaga ruko."

"Oh."

"Abang, nggak lupa 'kan?" tanyanya hati-hati.

"Nggak dong. Kenapa memangnya?" Agha kini berlutut di depan Radjini yang duduk di tepi ranjang.

"Aku mau ke ruko, boleh?"

Agha terdiam seraya menatap wajah sang istri dengan sorot datar. Agha dilanda kegalauan, melarang takut sang istri kecewa tetapi jika diizinkan ia pun cemas jika Bayu mencari Radjini bersama dengan Devan.

Melihat suaminya yang terdiam kembali Radjini memberanikan diri bertanya, "Boleh?"

Hanya satu kata itu saja yang bisa keluar dari bibirnya. Setengah mati Radjini cemas jika tidak diberikan izin karena ia pun bingung untuk berpikir mencari solusi lain jika tidak diperbolehkan, sementara semua modalnya ada di ruko tersebut.

Menatap raut wajah polos Radjini yang penuh damba dengan izinnya, Agha pun membuka mulut, "Jika aku tidak izinkan, apa kamu tetap akan pergi?"

Benar sudah, tubuh Radjini yang sedari tadi menahan ketegangan kini melepas dengan penuh kekecewaan dengan pertanyaan yang sudah ia duga itu. "Iya, aku tetap pergi."

"Kamu tidak menurut pada suamimu?"

"Bukan begitu, hanya saja aku ingin mandiri." Keluar sudah apa yang menjadi keinginannya begitu saja. Radjini lega sekaligus deg-degan luar biasa dengan reaksi Agha berikutnya. Dalam pikirannya merapal 'jangan mengamuk' jauh di lubuk hatinya Radjini masih sangat mengingat bagaimana jika sisi gelap suaminya itu muncul kepermukaan, dan itu hanya riak kecil daripada semua yang pernah dilakukan Agha yang pernah terjerumus tanpa hati nurani memperlakukannya dengan kejam, dulu.

"Mandiri ya," balas Agha yang kini menunduk dengan tatapan pada pangkuan Radjini diikuiti dengan kedua tangan yang bertengger di sana, ia pun kemudian mendongak mengikis jarak paras keduanya. "Apa uang yang aku kasih kurang selama ini?"

"Tidak," jawab Radjini cepat, sungguh ia takut jika Agha salah paham. "Mandiri bukan berarti Abang kurang mensejahterakan Ini," ujarnya tergagap.

"Lalu?"

"Abang sudah janji kan dulu. Kita Kerjasama, apa Abang lupa? Pasti Abang lupa ya ;kan?"

"Abang nggak lupa. Hanya saja tempatnya 'kan jauh dari sini."

"Terus Ini harus gimana untuk ke sana? Sekalian Ini mau tengok Bapak sama Ibu. Ada urusan lain juga."

"Urusan apa?"

"Aku mau ambil ijazahku."

"Di mana?"

"Tempat kosku dulu."

"Tempat kos?" Jantung Agha kembali berdetak kencang benaknya mengambil kesimpulan jika sang istri mulai mengingat memori masa lalu. Ia sendiri pun bingung antara senang dan gundah saat yang bersamaan.

'Apa Jini ingat semua kelakuanku dulu ya?'

"Iya. Jini mau ke sana ambil ijazah."

"Bagaimana kalau ada orang jahat yang mengicarmu?"

Mata Radjini membulat mendengar kalimat itu. "Orang jahat? Kenapa, apa salah Ini? Niha di sini, Ini nggak punya apa-apa, lalu apa yang dicari orang jahat dari Ini."

Agha mengulurkan tangan dan menangkup wajah Radjini dan mendekatkan sampai kedua dahi mereka bertemu. "Karena aku memilihmu menjadi istriku."

"Apa itu karena aku belum menemukan Abang dengan Kakakku? Aku tahu dia di mana. Kalau aku bisa kembali mempertemukan kalian dan aku pergi, apakah orang jahat itu juga akan berhenti menggangguku?"

"Jini, apa maksudmu?" Agha terkejut dengan pernyataan Radjini ini. Ia pun sangat yakin jika sang istri kini mengingat semuanya yang telah lalu dan berusaha ia lupakan.

"Aku masih ingat dengan ucapanku dulu, sebagai syarat menikah. Apa karena itu, orang jahat mengincarku? Sudah pasti ada yang tidak suka dengan pernikahan kita."

Agha kini terduduk bersimpu dengan tubuh terasa lemas. Ia pun jelas ingat dengan malam penuh kenangan menyakitkan sekaligus kesenangan tersendiri baginya bisa mendapatkan Radjini pada saat itu.

"Aku masih memegang janjiku, Bang. Aku akan menyatukan kembali kamu dengan cintamu yaitu Kakakku." Radjini belum bisa menyebut nama Radmila karena lidahnya yang terasa kelu saat ini. Meski ada anak diantara mereka tetapi janji tetaplah sebuah janji dan harus ditepati.

"Maka dari itu, aku harus bisa mandiri dan tidak menjadi beban tanggung jawabmu," ujarnya dengan pilu.

"Bagaimana jika aku tidak akan pernah melepaskanmu," ujar Agha dengan raut wajah serius.

"Kamu harus melepaskan aku."

"Kenapa harus?"

"Karena aku sudah berjanji akan menyatukan kalian dan kamu akan melepaskanku."

"Aku tidak pernah menyebut akan melepaskanmu."

"Tapi ..." protes Radjini yang bingung dengan sikap Agha.

"Makanya kalau ingat masa lalu jangan setengah-setengah. Ingat lagi, apa aku setuju dengan pernyataanmu itu?"

Dengan napas terengah Radjini menjawab, "Aku sangat yakin kamu setuju."

"Jangan berkhayal. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu." Setelah berkata demikian Agha melumat bibir Radjini dan seraya mendorong tubuh kecil itu terbaring di ranjang.

Rontaan lemah dari Radjini semakin membuat Agha mengeratkan dekapan dan mengunci pergerakan dengan bibirnya yang menghisap kemanisan Radjini.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang