44 B. TEKAD AGHA

50 15 2
                                    

KALIAN BISA BACA CERITANYA YANG LEBIH LENGKAP DI KARYAKARSA, KBM DAN INNOVEL.

PLAY BOOK STORE AZEELA DANASTRI SUDAH KENA TAKE DOWN UNTUK KECINTAAN AZEELA/ThereAD YANG MAU PELUK BUKUNYA BISA BELI DI KARYAKARSA ATAU KE 082123409933

"Niha," panggil Radjini.

"Emmm," jawab anak itu seraya menoleh sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada televisi.

Radjini bergabung di karpet permadani dan memeluk anaknya dari belakang. "Niha senang di sini sama mama?"

"Cenang," jawab anak itu tanpa mengalihkan perhatian dari layar televisi.

"Sama mama selamanya ya?"

Niha kemudian mendongak dan menatap sang ibu dalam kebeningan matanya yang polos. "Cama Mama? Papa ana?"

"Papa..." balas Radjini terbata tak menduga akan mendapatkan reaksi begitu dari anaknya.

"Au Papa," balas Niha seraya menepuk dadanya. "Mama pon!"

"Mama telepon?"

Niha mengangguk lalu melepaskan dari pelukan sang ibu yang longgar dan meraih ponsel yang sudah digeletakkan oleh Radjini lagi tadi di ranjang. Gadis kecil itu mengulurkan ponsel itu kepada sang ibu.

Radjini terpaku menatap ponselnya dan memejamkan mata setelah menerimanya. Hatinya bergejolak karena gelisah, ia tak bisa menerka bagaimana reaksi sang suami jika dirinya menghubungi lebih dulu. Apalagi sejak pesannya yang terakhir sang suami tidak menghubunginya sama sekali.

"Pon Papa," desak Niha yang kini berjongkok seraya menatap layar ponsel yang gelap dengan penuh antusias.

Radjini tidak kuasa untuk menolak keinginan sang anak tentu saja. Ia pun segera mencari kontak nomor Agha dan menghubunginya terlebih dulu.

"Halo Sayang," sapa Agha dengan ceria.

Radjini tertegun, lidahnya kelu untuk langsung menjawab bahkan dirinya otomatis seolah menebak di mana Agha berada begitu mendengar suara kendaraan sebagai latar.

"Sayang?" tanya Agha lagi.

"Papa ..." panggil Niha pada panggilan dengan speaker yang sengaja dinyalakan.

"Ya Niha."

"Papa cini, ya."

"Iya sebentar ya. Jalannya macet. Mama mana?"

Niha mengangguk, yang tentu saja tidak bisa dilihat oleh sang ayah. "Mama ini," ujarnya seraya menyentuh lengan sang ibu.

Radjini mengerjab begitu merasakan sentuhan lengan kecil itu. "Ya Mas," balasnya cepat.

"Kok, Mas? Biasanya panggil aku, abang," protes Agha.

"Eh iya, Bang."

"Hayo lagi mikirin siapa?"

Radjini segera menggeleng dan segera menepuk dahinya begitu menyadari bahwa tentu saja Agha tidak bisa melihatnya. "Tidak ada. Aku mungkin lagi pingin ngemil aja."

"Pingin apa? Mumpung aku lagi kejebak macet ini. Bisa minggir sebentar untuk beli."

Radjini tersadar dengan jawaban Agha dan segera bertanya, "Memangnya kamu tahu aku dan Niha di mana?"

"Tentu saja aku tahu. Kamu pikir kalian keluar tanpa pengawasanku?"

"Apa?" Radjini lalu berlari kecil menuju balkon dan matanya memicing melihat sekeliling, berusaha memindai apakah ada sosok yang memperhatikan dirinya dari keremangan lampu taman dan dari kamar lain. Namun sosok-sosok itu tak ia temukan.

"Aku akan menunjukkan ketulusanku, Sayang. Mulai saat ini kita harus bisa membuat pernikahan ini berhasil. Aku tidak mau kehilangan kamu dan tidak akan kubiarkan."

Radjini masih berdiri di balkon dengan menelan saliva kasar menatap pada satu sosok yang berdiri di jalan setapak berbalas pandangan dengannya.

GORESAN LUKA LAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang