5. Unclear confession

158 28 25
                                    

Vote yaa, biar up lagi

****

Jiya mengumpat pelan tatkala dirinya hampir saja ditemukan oleh Yoongi. Ia bersembunyi sebisa mungkin agar Yoongi tak mendapatkannya saat jam kuliah sudah selesai. Inginnya langsung keluar gedung universitas kecintaan ini, tapi itu semua tak semudah yang Jiya bayangkan. Ada Yoongi yang sedang berdiri bersama para teman tongkrongannya di gerbang utama. Saat Jiya mengambil langkah putar arah, ia tahu keberadaannya telah terdeteksi oleh si berandal Min. Membuat Jiya kalang kabut untuk mencari tempat persembunyian mana yang paling aman. Ah, ini semua gara-gara Jimin! 

"Bagaimana ini? Aku takut dicium." Jiya mengeluh, rasanya kulit tubuhnya hampir terbakar karena terkena paparan sinar matahari terlalu lama. Akhirnya ia memilih berjongkok di balik tembok tinggi yang berada di belakang paling pojok gedung universitas. Jiya menulis-nulis tulisan abstrak di tanah menggunakan patahan kayu ranting pohon.

Kaki Jiya lemas tidak berdaya, pendengarannya telah menangkap suara motor legendaris yang sangat ia kenali. Mau lari kemana lagi dia kini? Pasrah adalah jalan satu-satunya. Kesal sekali rasanya ketika Yoongi menyalakan suara klakson, lalu dengan enteng mengatakan, "Kena kau!"

Jujur, Jiya belum mau beranjak dari tempat persembunyiannya meski sudah ketahuan oleh Min-Min. Terus diam dan melanjutkan acara tulis menulisnya di tanah tempat ia berpijak.

"Sudahi persembunyianmu, Jiya. Kita tidak sedang bermain petak umpet. Ayo naik cepat, disana panas bung." Ucapan Yoongi sama sekali tidak digubris. Gadis Shin masih memasang wajah dingin.

"Heh, kau mau cacingan bermain tanah begitu?" Mungkin ini adalah salah satu kalimat yang dapat menakuti Jiya.

Dan benar saja, sebab Jiya teringat masa kecilnya, pernah keluar cacing saat buang air besar. Mendadak ia mual, masih terbayang betapa menjijikkannya kenangan itu. Sontak ia berdiri mendatangi Yoongi. "Apa aku nanti benar-benar akan dicium?"

"Memangnya kau mau dicium?

Diam sejenak lalu Jiya menjawab, "Tidak."

"Ya sudah kalau tidak mau. Kenapa wajahmu ingin menangis begitu?" Yoongi menuntun Jiya untuk naik ke atas motor miliknya, memberi perintah agar gadis manis ini mau berpegangan erat padanya.

Min dengan reflek memindahkan pegangan Jiya pada bahunya. Yoongi hanya mau dipegang pinggangnya, bukan bahunya. Please, Yoongi bukan lah jasa transportasi online. Peganglah Yoongi layaknya orang terkasih.

"Kita mau kemana, tampan?"

"Kau masih bertanya kemana? Mau kubawa ke hotel, memangnya mau keman-Ahk! Sakit sayang, hobi sekali sih memberi cubitan pada perut gemasku." Susah kalau Jiya sudah mengamuk, tidak bisa diajak bercanda lagi. Dasar tidak seru.

Tiga puluh menit setelah berkeliling tak jelas di jalan, akhirnya mereka berhenti di suatu resto cepat saji. Sebab mereka tak bisa berlama-lama, ada urusan masing-masing yang harus segera mereka selesaikan. Sembari menunggu makanan datang, Jiya berpikir langkah apa yang selanjutnya harus ia lakukan untuk merubah penampilan Min. Manik matanya menelusuri perawakan Yoongi dari atas sampai ke bawah. Jikalau ditilik kembali, Yoongi ini tidak terlalu buruk kok. Ia hanya perlu mengganti pakaian keseharian yang biasa pria itu pakai. Seperti memakai kemeja dan celana bahan, pasti jauh lebih tampan. Kalaupun tidak mau memakai yang formal seperti itu, setidaknya Yoongi jangan memakai celana robek-robek begini.

Prof. Min saja tak suka, apalagi Jiya.

"Ditatap begitu olehmu aku jadi sedikit agak malu, Jiya." Yoongi cengar-cengir tak jelas.

Ternyata Yoongi ini mudah grogi, gugup, dan salah tingkah jika ditatap secara intens. "Kalau setelah ini kita mampir dulu ke toko pakaian bagaimana sunbae? Apakah masih sempat? Urusanmu sangat pentingkah?"

SMITTEN BY YOUWhere stories live. Discover now