9. End of beginning

178 29 19
                                    

Hidup Yoongi mendadak sendu beberapa hari ini. Coba mari kita hitung, semenjak Yoongi dan gadis idamannya melakukan adegan intim, ini adalah hari ke tujuh Yoongi menjauhkan diri. Bukan karena tidak suka, hanya saja ada urusan lain yang harus ia selesaikan dan itu menyebabkan Yoongi sulit untuk berdekatan lagi dengan Jiya. Bahkan selama tujuh hari belakangan ini, Yoongi tak pulang ke rumah Jiya. Membuatnya tak berselera untuk melakukan kegiatan apa-apa. Selama tujuh hari belakangan ini pula Yoongi tak aktif kegiatan ke-mahasiswa-an maupun sebagai asisten dosen, pikirannya tak tenang serta tak tentu arah.

Beberapa bulan kedepan, lulus dari universitas kebanggaan ini sudah menanti Yoongi. Tapi bagaimana caranya agar semua cepat terselesaikan kalau saja ia tidak bisa benar-benar fokus belajar dengan baik. Lagipula, kasihan mahasiswa lain kalau Yoongi cepat keluar dari gedung universitas ini, nanti mereka pasti akan kesepian bila tidak ada gangguan lagi dari Min yang super duper tampan ini. Kasihan. Galak begini Yoongi lumayan banyak menjadi incaran mahasiswa/siswi lain untuk mengerjakan penelitian.

Nah, apabila teringat gelar elitnya sebagai asisten dosen, sejujurnya Yoongi sudah ingin sekali melepas gelar itu. Ia merasa sudah tak pantas lagi, ada banyak mahasiswa yang lebih unggul nan aktif dari dirinya. Sekarang Yoongi lebih disibukkan untuk menagih hutang-hutang yang ayahnya pinjamkan oleh banyak orang. Belum lagi mengerjakan tugasnya sebagai mahasiswa tingkat akhir, harus ia diskusikan hal ini nanti pada sang ayahanda.

"Rindu juga dengan Shin. Mari kita hubungi Jimin saja." Yoongi berucap pada diri sendiri, setelah itu ia memasukkan ice cream berwarna kuning yang menjadi favoritnya akhir-akhir ini, sembari mengeluarkan ponsel dari saku skinny jeans yang ia kenakan.

"Halo Jim, bagaimana kabar? Aman?"


"Baik-baik saja kok, hyung. Tumben sekali kau menanyakan kabarku."


"Oh, bukan kabarmu yang aku tanyakan. Kabar nona Jiya tentunya."


"Bajingan betul lelaki Min ini. Sudah senang aku ditanyai kabar olehmu. Namun dengan cepat kau mematahkan hatiku begitu saja."


"Sabar, Jim. Mulut manusia memang suka begitu."


"Heum, meski sudah garisnya begitu tetap saja aku tak pernah terbiasa. Ngomong-ngomong, mengapa kau terus menanyakan kabar Jiya? Kau sudah tak tinggal lagi di rumahnya? Cepat sekali diusir oleh si pemilik rumah." Jimin diam-diam melayangkan aksi balas sindir dari seberang telepon.


"Tidak ada diusir, ya. Aku sedang ada urusan. Kalau berdua dengan Jiya tidak bisa fokus, yang ada nanti malah melakukan adegan dewasa terus. Sudah cepat katakan padaku, bagaimana kabar si cantik jelita itu?"



"Mengapa kau tanya aku anak setan? Memangnya aku ibunya?"



"Bukannya kau sedang dekat dengan teman seperjuangan Jiya? Si Millie Millie itu. Kau tanyakan saja lewat Millie, tidak ada salahnya membantu sesama."



"Tidak sedekat itu, hyung. Aku dan Millie sedang proses pendekatan, bukan proses berpacaran. Jadi aku tak bisa seenaknya menanyakan hal lain di luar konteks, takut Millie salah pah-tuuutt..."

Sambungan terputus. Sengaja dimatikan, Yoongi takut pulsanya habis. Waduh, pelitnya Jiya sepertinya sudah tertular. Padahal tidak boleh pelit-pelit kalau kuburannya tak mau sempit. Pusing sudah kepala Yoongi yang sudah mulai ditumbuhi rambut-rambut mungil, ia mulai menjalankan motor dari area parkir minimarket tempat ia membeli ice cream sebelumnya. Kini tujuannya adalah rumah sendiri, tugas-tugas yang menumpuk akan Yoongi lanjutkan bila sudah sampai di rumah. Enak saja menagih hutang terus, cita-cita Yoongi bukan ingin menjadi rentenir bro. Yang benar saja.






SMITTEN BY YOUWhere stories live. Discover now