Bab 3 : Sambutan Kepulangan

8 3 0
                                    

TENDA-tenda di barak sudah banyak berkurang, hanya beberapa yang masih terlihat berdiri. Persiapan kepulangan dua hari lebih cepat dari perkiraan Cyril. Mungkin semua orang sudah rindu rumah sehingga semangat mengemasi barang.

Malam mulai beranjak. Suara tawa para pasukan yang berpesta merayakan hari terakhir di tanah peperangan terdengar sayup-sayup. Cyril hanya ikut minum sebentar di antara prajurit. Ia tidak ingin merusak suasana dengan duduk di sana sampai selesai. Jadi, laki-laki berumur 26 tahun itu menyingkir ke atas tebing, tempat favoritnya selama hampir setahun ini.

Ia membayangkan bagaimana rupa Elaine, adik perempuannya. Pasti putri kesayangan keluarga kerajaan itu bertambah cantik karena mewarisi wajah ratu. Sebagai kakak, ia akan menyeleksi semua pria yang mendekatinya.

Kemudian, ia mengingat Edgar—adik bungsunya—yang saat itu senang membuat pengasuhnya kewalahan. Apakah anak itu sudah berperilaku baik atau semakin nakal? Berapa tingginya sekarang? Bibir Cyril melengkung ke atas saat memikirkan kenakalan Edgar yang selalu membuat ratu naik pitam. Anak itu selalu kena hukuman dan dengan wajah manisnya—pipi bersemu merah dan mata seperti anak anjing—membuat Cyril selalu tidak tega dan akhirnya membantunya.

Cyril mendongak lalu bulan yang sudah tidak bulat sempurna berubah menjadi wajah teduh ibunya. Cyril sudah rindu pelukan hangat itu. Apakah wajahnya masih cantik atau sudah menua karena pusing memikirkan bagaimana cara mendisiplinkan si bungsu?

Kemudian, sesaat matanya meredup saat mengingat ayahnya, Raja Aldrich Alfons Ravenspire. Tangannya mengetat dan matanya menyipit saat membayangkan apa yang akan dikatakan ayahnya tentang kepulangannya saat ini. Apakah pujian karena sudah mengalahkan musuh ataukah seperti biasanya? Kata-kata penuh tekanan karena tidak bisa menuntaskan pekerjaan lebih cepat.

Apa pun penghargaan yang diperoleh Cyril—saat di akademi maupun setelah menjadi ksatria—tidak pernah membuat sang raja puas. Sang raja selalu menekan sang pangeran agar berusaha lebih keras lagi karena kelak akan mewarisi tahta. Karena ambisi itu, akhirnya Cyril tidak terlalu dekat dengan sang ayah.

"Perang sudah usai. Kenapa Anda masih bersembunyi di sini?"

Tanpa menoleh pun, Cyril sudah tahu siapa yang menyusulnya. "Dan kenapa kau malah menyusul ke mari? Kenapa tidak ikut berpesta dengan mereka?" sahut Cyril.

"Rasanya tidak adil kami berpesta tanpa sang bintang."

"Jangan berlebihan."

"Tidak sama sekali. Berkat Anda kita bisa menang. Jika Anda tidak mengamati pola serangan pihak musuh dan membuat strategi, kita semua pasti akan mati di sini."

Cyril hanya terdiam sambil melihat medan perang di bawah sana, tempat terkuburnya tubuh teman-temannya dan musuh. Seketika hatinya terasa sesak. Bagaimana raut wajah keluarga mereka saat tidak melihat temannya yang mati di antara pasukan yang kembali? Ia merasa bersalah karena tidak bisa menyelesaikan perang lebih cepat agar bisa mengurangi jumlah prajurit yang mati di medan pertempuran.

"Mereka pasti juga ikut senang karena kita menang. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kita semua sudah tahu takdir apa yang menanti jika terjun ke dalam perang." Bastian Rosewood seperti sudah tahu apa yang dipikirkan sang pangeran.

"Seandainya aku bisa memenangkan perang lebih cepat, mungkin tidak akan banyak yang mati. Benar kata Yang Mulia, seharusnya aku bisa lebih baik lagi sehingga bisa melindungi orang-orangku."

"Tidak, Anda sudah melindungi kami dengan baik. Percayalah kepada saya. Tidak peduli apa yang dikatakan Yang Mulia, Anda tetaplah pemimpin terbaik pasukan distrik empat."

Cyril tersenyum tipis sambil menepuk bahu Bastian Rosewood lalu dengan tulus berujar, "Terima kasih, Bastian. Aku tidak tahu bagaimana bisa bertahan kalau tidak ada kau di sisiku."

Bastian adalah teman kecil Cyril karena orang tuanya adalah bangsawan yang bekerja di istana kerajaan. Sehingga lelaki berambut keemasan itu tahu seberapa besar tekanan yang diterima Cyril dari sang ayah meskipun itu juga demi kebaikan sang pangeran.

"Apa yang akan Anda lakukan saat kembali ke Windsburg?" tanya Bastian Rosewood.

Windsburg adalah ibu kota kerajaan Winchester. Kota yang dilalui angin segar yang kadang menghasilkan suara merdu, yang mereka yakini sebagai nyanyian Dewi Astare.

"Mungkin aku mengajukan cuti beberapa saat karena aku ingin menyeleksi pria-pria yang mendekati Elaine."

Bastian Rosewood bergidik mendengar jawaban Cyril. Putri Elaine memang sangat manis, tidak heran jika banyak pria yang akan menyukainya. Apalagi, tahun ini sang putri akan melakukan debutnya. Namun, jika harus memiliki kakak seperti Cyril dan ayah mertua Raja Aldrich, Bastian Rosewood tidak akan berani meskipun hanya membayangkannya.

"Sebaiknya Pangeran pikirkan lagi jika tidak ingin Putri membenci Anda."

"Kenapa dia akan membenciku? Seharusnya dia berterima kasih kepadaku karena sudah menyingkirkan serangga-serangga itu."

Bastian Rosewood menghela napas lelah. Sulit menjelaskan kepada kakak yang posesif terhadap adiknya. Pria yang tingginya hanya sampai telinga Cyril itu tahu bagaimana sang pangeran tergila-gila kepada saudaranya. Begitu pula sang adik, mereka sangat menyayangi dan menghormati sang kakak.

"Malam semakin larut, mari kita kembali ke barak. Kita harus berangkat pagi-pagi."

Cyril menyuruh Bastian Rosewood kembali lebih dulu. Untuk yang terakhir kali, ia ingin menikmati pendar keemasan bulan yang letaknya sejajar dengan Bintang Astare. Ia berterima kasih untuk kesekian kali kepada sang dewi untuk kemenangannya.

***

Pagi sekali setelah sarapan, para pasukan berangkat kembali ke ibu kota. Cyril menunggangi kudanya di tengah pasukan. Lelaki bermata tajam itu tidak mau menaiki kereta khususnya. Ia ingin melihat wajah cerah anak buahnya, sebagai pengobat rasa bersalah kepada teman mereka yang tidak bisa kembali.

Sebenarnya Cyril takut kembali ke istana saat ini. Ia tidak akan bisa mengelak lagi dari pernikahannya bersama Putri Viona, anak dari perdana menteri yang sudah dijodohkan dengannya sejak kecil. Sang pangeran tidak menyukai sifat calon istrinya itu, apalagi keluarganya. Dulu ia bisa mengelak pergi berperang untuk menghindari topik pernikahan, tetapi sekarang tidak bisa lagi.

Cyril selalu merasa terganggu dengan perilaku dan wajah perdana menteri. Lelaki tua itu seperti menyimpan hal besar, berambisi menguasai kerajaan. Bahkan, Cyril yakin jika hampir sebagian besar bangsawan di kerajaan adalah sekutu perdana menteri.

Perjalanan kembali ke ibukota memakan waktu dua hari. Di malam hari, mereka beristrirahat di mansion bangsawan di kota yang mereka lewati. Setelah setahun hidup di lingkungan keras, semalam mendapatkan jamuan yang baik membuat pasukan bersuka cita. Ada juga yang menelusuri jalanan malam kota lalu berakhir di bar. Kehadiran pasukan yang dipimpin Pangeran Cyril Aldrich Ravenspire langsung menjadi perhatian penduduk di kota itu. Namun, tidak ada yang berani bicara lebih soal istana.

Hari kedua tengah hari, pasukan sudah tiba di pintu gerbang ibukota. Dada mereka berdebar kencang dan lubang hidung mengembang membayangkan sambutan hangat dari para penduduk.

Masuk ke dalam kota, pasukan merasa aneh dengan sambutan penduduk. Meskipun mereka disambut dengan meriah, tetapi ada sesuatu dengan ekspresi wajah mereka. Seperti wajah sedih, kasihan, dan ada yang memasang ekspresi penasaran seperti menunggu hal yang akan terjadi selanjutnya.

Hati Cyril langsung terasa tidak enak. Namun, ia tidak bisa mendeskripsikan apa yang tengah dirasakan. Jawaban pertanyaannya itu terjawab saat ia masuk ke dalam istana untuk menghadap raja.

"Kenapa Anda yang berada di sana? Di mana yang Mulia?"


The Winchester's OdisseyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang